Sunday, August 22, 2010

KORBAN BELUM MERDEKA DARI JANJI


            “Janji-janji tinggal janji bulan madu hanya mimpi…”, sebagian lirik lagu “Desember Kelabu” di era 80an. Lirik ini saat ini dirasakan oleh korban lumpur Lapindo. Menurut Jawa Pos (17/8/2010), korban belum mendapatkan cicilan ganti rugi dari Lapindo seperti yang dijanjikan. Di Koran tersebut, Minarak Lapindo Jaya, mengaku sedang mengalami kesulitan finansial. Pembayaran pun tersendat-sendat. MLJ mengakui asetnya banyak. Tapi, tidak semudah membalikkan tangan untuk menjualnya. Cicilan ganti rugi 15 juta per bulan macet sejak beberapa bulan lalu. Abdul, warga Siring yang saya wawancarai, mengaku tidak menerima cicilan sejak Maret 2010. Indikasi macet, sudah tercium jauh sebelumnya. Misalnya, Ketua Tim 16 Perumtas mengakui untuk cicilan bulan Maret 2010, baru diterima pada Mei 2010 sedangkan untuk Mei belum (JP, 27/5/2010).
Kesekian kali, korban Lapindo menerima janji-janji tinggal janji. Hal ini membuat tingkat kerentanan (vulnerability) psikologis, sosial, dan ekonomi korban semakin besar. Memang ada korban yang bisa mengatasi tingkat kerentanan, terutama yang sudah menerima 100% cicilan. Mereka ini relatif bisa bertahan dan bernafas lega meski harus menunggu lama. Kebanyakan karena mereka mempunyai penghasilan tetap yang cukup tinggi dan mempunyai rumah lain selain yang berada di lokasi lumpur, atau mereka yang mempunyai kemampuan wirausaha. Tetapi, saya kira jumlah mereka sangatlah kecil. Data terakhir yang saya miliki, dari 13.127 sertifikat yang diverifikasi MLJ, yang sudah dilunasi baru 6.786 berkas (Ano, dkk, 2010). Itu belum termasuk korban yang punya masalah legalitas sertifikat. Tidak semua korban yang sudah menerima 100% cicilan pun bisa menikmati penuh ganti rugi itu. Banyak di antara mereka menggunakannya untuk membayar utang biaya hidup selama proses menunggu pencairan ganti rugi.
Bahkan, Abdul, korban yang telah menerima 20% hingga Rp 400 juta –karena memiliki tanah dan bangunan sangat luas- pun belum bisa tidur nyenyak. Dia masih mengkhawatirkan 80% nya dapat dilunasi atau tidak. Dengan jumlah uang sebesar itu, kalau dicicil Rp 15 juta per bulan, ganti ruginya baru lunas sepuluh tahun lagi. Dalam waktu itu, apakah ada jaminan tidak terjadi perubahan kebijakan, misalnya dengan pergantian rezim?

Ketertutupan Informasi
Dari berita JP (17/8) “Mediasi Korban Lumpur Macet, PT MLJ Mengaku Kehabisan Uang” di atas, persoalan ketertutupan informasi kembali menggelitik saya. Informasi yang tertutup selalu terjadi seiring dengan “obral janji”. Dulu, sesuai Perpres no 14/2007, para korban dijanjikan menerima ganti rugi 80% setelah dua tahun masa kontrak berakhir. Tapi, sampai batas waktu tiba, sekitar Mei 2008 (peta 1) dan Desember 2008 (peta 2), janji itu tidak terpenuhi. Reaksi baru muncul setelah berbagai aksi demo dilakukan korban. Dikatakan bahwa perusahaan mengalami kesulitan keuangan akibat krisis ekonomi global. Sementara publik tidak mendapat kejelasan informasi tentang kebenaran alasan tersebut karena tidak ada audit terbuka yang bisa memastikannya. Alasan krisis finansial menimbulkan tanda tanya publik. Ada yang mengatakan hal itu tidak mungkin karena Lapindo menerima klaim asuransi sebesar US$ 25 juta (Tempo Interaktif, 19/3/2009), Lapindo menerima US$ 72 juta dari Santos (rekanan Lapindo), dan Forbes menetapkan Bakrie sebagai orang terkaya di Indonesia dengan US$ 5.4 juta (Munawwaroh, 2007). Belum lagi beberapa pesta perkawinan keluarga Bakrie yang menghabiskan dana milyaran rupiah (Hasan, 2008). Kini alasan yang sama muncul lagi. Seharusnya publik mendapat akses untuk meminta dilakukan audit, mengingat kewajiban ganti rugi diatur oleh perpres yang merupakan keputusan publik.
Ketertutupan informasi menjadi satu faktor munculnya rumor di masyarakat, antara lain rumor hubungan khusus pemerintah dengan Lapindo, dan pemerintah maupun Lapindo dinilai tidak bersungguh-sungguh terhadap nasib korban lumpur. Menurut Abdul, misalnya, Lapindo mempunyai asset yang besar sedangkan jumlah ganti rugi terlalu kecil dibanding jumlah asset itu. Dia mengaku tidak ada informasi yang tersedia sebelum dan setelah lumpur muncul. Tanpa demonstrasi, korban tidak mendapatkan informasi. Informasi yang diberikan pun sebatas soal ganti rugi. Senada dengan Abdul, Qodir warga Jatirejo, merasa ada sesuatu yang ditutup-tupi. Sementara, Siti, warga Perumtas mengakui bahwa itu adalah konsekuensi yang harus dipenuhi Lapindo. Kesulitan finansial hanya alasan menghindari tanggung jawab dan mestinya pemerintah mendesak Lapindo.

Manajemen Krisis Tak Berpihak Korban
Mengadopsi ide Leitch & Neilson (1979), bisa dikatakan Lapindo memperlakukan korban berdasarkan pendekatan strategik. Korban diasumsikan pasif hanya menerima pesan-pesan dari perusahaan dan berada dalam subordinasi perusahaan. Korban diarahkan untuk memahami konstruksi Lapindo, seperti Lapindo adalah korban juga dan telah berbaik hati, banyak korban yang bahagia karena menerima uang banyak, kesulitan finansial, dan konstruksi bahwa ini bencana alam.
Padahal mengacu Teori Situational of the Public (Grunig, 1979), korban lumpur adalah publik yang butuh dan aktif mencari informasi, mereka menyadari ada sesuatu yang tidak beres (problem recognition) tetapi mereka juga merasa kesulitan untuk mengekspresikan keinginan karena kendala-kendala komunikasi (constraint recognition). Ini terjadi, berdasarkan Teori Situational Crisis Communication, baik pemerintah maupun Lapindo tidak menerapkan manajemen yang berpihak korban. Seharusnya, prioritas pertama adalah jaminan keselamatan dan kehidupan korban.
Konflik antara korban, pemerintah dan Lapindo berulang kali terjadi. Mengadopsi Marxism, situasi ini adalah wajar dalam setiap proses sosial. Untuk mengatasinya, saya pikir negara perlu memberikan kesempatan kepada korban untuk didengarkan sehingga dominasi kelompok yang kuat terhadap yang lemah bisa diminimalkan. Jaminan keselamatan dan kehidupan dirasa belum ada, sehingga korban mesti melawan untuk mendapatkan hak-haknya. Selama orientasi profit ekonomi mendasari penanganan kasus lumpur, jangan harap korban lumpur akan merdeka dari janji-janji kosong.


No comments:

Post a Comment