Friday, February 18, 2011

MANAJEMEN KOMUNIKASI KRISIS LUMPUR LAPINDO

Tulisan ini juga dimuat di Jurnal Dinamika HAM Pusham Ubaya vol. 10, nomor 2, Mei-Agustus 2010 


Krisis besar ini telah terjadi selama 4 tahun, tepatnya sejak 29 Mei 2006. Pertama kali semburannya kecil dan orang tidak menyangka akan bertambah besar. Volume semburan kian besar, hingga mencapai 1700 ribu meter3. Berita terakhir, volume lumpur dilaporkan berkurang drastis hingga mencapai 70 ribu meter3 setiap hari (Hertanto, 2010). Banyak orang menjadi saksi munculnya danau lumpur yang sangat luas (sekitar 640-an hektar) di Tanggulangin dan Porong, Sidoarjo. Sekitar 12 desa jadi korban, akibatnya 60 ribu orang terpaksa meninggalkan desanya. Tercatat 14 orang meninggal dunia (Hutapea, 2010).[3] Benar-benar extraordinary event.
            Hingga kini, krisis ini belum benar-benar bisa diatasi, bukan hanya persoalan teknis mengatasi semburan lumpur, tapi juga persoalan ekonomi, psikologi dan sosial para korban.[4] Makalah ini menyorot bagaimana manajemen krisis yang dilakukan Lapindo dan pemerintah selama banjir lumpur ini. Makalah fokus pada strategi komunikasi dalam krisis manajemen tersebut, sehingga bahasan tentang peran public relations menjadi hal yang penting (baca juga Culbertson, Jeffers, Stone, & Terrell, 1993 tentang peran PR dalam issue & crisis management). Beberapa teori dijadikan pisau analisis untuk melengkapi pengalaman langsung penulis di lapangan dan wawancara dengan beberapa korban dari perumtas, kedungbendo, Siring, dan Jatirejo antara November 2009-Maret 2010.
Manajemen Krisis yang tidak efektif
Penulis mengategorikan krisis lumpur ini sebagai acute crisis. Peristiwa ini menimbulkan tingginya tingkat ketidakpastian dan ancaman (Seeger, Sellow & Ulmer, 1998, cited in Smudde, 2001); mendorong conflict of interest (Burnett, 1998); menyebabkan kerusakan fisik dan non-fisik yang mencakup keseluruhan sistem sosial (Kouzmin, 2008); dan menimbulkan kemarahan publik (public outrage) (Miller, 1999).
Ini terjadi karena manajemen krisis berlangsung tidak efektif. Ada beberapa alasan mengapa penulis menyebut manajemen krisis yang tidak efektif. Pertama, manajemen krisis yang lambat. Upaya sistematik menhandle persoalan baru tampak setelah 3 bulan lumpur menyembur dan menenggelamkan beberapa desa, yaitu dengan adanya perpres 13/2006 tentang pembentukan Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (Timnas PLS), yang disusul dengan perpres-perpres yang lain. Persoalan sosial yang diatur dalam aturan-aturan tersebut baru dijalankan setelah korban berdemonstrasi beberapa kali, dan dalam perjalanannya pun beberapa kali tidak dipatuhi, seperti molornya jadwal pemberian kompensasi 80% dan pembayarannya pun tidak cash tapi dicicil. Sebelum menerima uang kontrak dan jatah hidup, para korban berada dalam kondisi ketidakpastian (uncertain fate) selama berbbulan-bulan.
Bagi korban, yang mereka tunggu adalah kepastian pemberian ganti rugi. Mereka sangat menderita ketika menunggu tanpa kepastian, meskipun telah diberi bantuan uang sewa rumah maupun uang jatah hidup. Bahkan sekarang pun, ketika pemberian ganti rugi diberikan secara mencicil, masih belum menghilangkan persoalan ketidakpastian ini. Misalnya, ada korban warga Siring yang nilai tanah dan bangunannya sebesar Rp 2 milyar, menurut skema cicilan, 80% nya akan lunas dalam waktu 10 tahun. Apakah ada jaminan, pembayaran akan tetap lancar, apakah ada jaminan kepastian hukum, karena kita tidak tahu perubahan-perubahan selama masa itu, mungkin ada perubahan kebijakan karena perubahan kekuasaan.
Kedua, krisis manajemen gagal mengurangi ketidakpastian (uncertainty reduction). Dari pengalaman di lapangan dan wawancara dengan beberapa korban, masalah mendasar yang dialami para korban lumpur adalah ketertutupan informasi. Ini menimbulkan ketidakpastian (uncertaninty) pada korban. Mereka merasa Lapindo dan pemerintah kurang memberikan informasi yang jelas tentang apa yang terjadi, misalnya, mereka bingung rumahnya akan kena lumpur atau tidak, evakuasi barang atau nggak, trus biayanya dari mana, tidak ada social warning kepada korban atau informasi tentang apa yang seharusnya dilakukan warga. Padahal setiap krisis pasti memunculkan lack of information atau krisis informasi, yang memunculkan ketidakpastian. Semakin tidak pasti situasi, seseorang semakin membutuhkan informasi (Teori Uncertainty Reduction). Kekurangan informasi inilah yang menyebabkan meningkatnya perasaan was-was dan curiga pada diri korban. Dalam konteks ini, Lapindo dan pemerintah telah gagal menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu. Kegagalan dalam menyediakan dan mengontrol arus informasi adalah kegagalan terbesar dalam upaya menghandle krisis (Duke & Masland, 2002), terbukti telah membuat krisis lumpur semakin parah.
Kurangnya sosialisasi dan informasi yang dibutuhkan juga menimbulkan kurang efektifnya beberapa program sosial yang disampaikan. Program-program pelatihan maupun bantuan UKM kurang merakyat, karena banyak korban yang tidak mendapatkan sosialisasi akan program tersebut. Seperti disampaikan informan 1 dari Desa Siring: “Nggak ada informasi sebelum atau sesudah lumpur nyembur. Kita biasanya cari informasi dari Pak Lurah atau RT. Kita selalu yang aktif cari informasi. Lapindo kalau nggak digetak, nggak gerak. Kita mesti demo. Informasi yang diberikan ya hanya soal ganti rugi.” 
Ketiga, fokus pada reputasi korporat. Manajemen krisis yang dijalankan lebih sebagai upaya menjaga reputasi. Beberapa bukti menunjukkan, misalnya, para korban hidup di pengungsian tanpa kepastian selama berbulan-bulan, sementara perusahaan tampak sibuk memframe dan memengaruhi frame publik. Hal ini nampak dari berbagai strategi komunikasi yang dilakukan Lapindo (baik melalui presentasi-presentasi seminar, interview dengan wartawan, iklan-iklan di media atau di publikasi-publikasi, seperti buku dan newsletter) yang lebih fokus pada konstruksi frame bahwa peristiwa ini disebakan oleh gempa Jogja. Dengan kata lain, ini bukan lumpur Lapindo, tapi lumpur Sidoarjo. Key- message yang disampaikan hanya satu, yaitu lumpur disebabkan gempa. Sejak minggu-minggu pertama, lumpur menyembur key-message ini sudah dikampayekan. Yang terjadi adalah politik pencitraan. Akibatnya, nasib korban terabaikan.
Strategi komunikasi yang responsif bukan proaktif
Kenyataan di lapangan, Lapindo dan pemerintah baru memberikan informasi setelah digoyang demo. Artinya, tidak ada upaya proaktif menyediakan informasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah mereka mempunyai manajemen komunikasi? Mengapa? Karena manajemen komunikasi seharusnya merupakan upaya terencana dan sistematik dalam menyediakan informasi yang akurat, fairness, openness, efisien, dan menjamin adanya partisipasi publik. Sementara dalam krisis lumpur ini, proses komunikasi yang terjadi lebih bersifat incidental communication, merespon kalau ada reaksi.[5] Tampaknya, baik PR Lapindo atau pemerintah menerapkan silent strategy, lebih hati-hati dan bersifat hanya memberi respon.   
Penulis melihat bahwa dalam proses informasi, pendekatan yang digunakan lebih pada pendekatan strategik (strategic approach) (baca juga Leitch & Neilson, 1997). Artinya, korban dianggap entitas yang pasif, hanya boleh menunggu pesan-pesan dari perusahaan. Padahal seharusnya mereka dianggap sebagai entitas yang aktif dan equal dengan perusahaan. Selama ini, korban diarahkan hanya untuk menikmati konstruksi manajemen tentang apa yang terjadi, seperti konstruksi bahwa Lapindo adalah korban juga, konstruksi tentang para korban yang kehidupannya lebih baik, atau konstruksi tentang penyebab semburan dan konstruksi tentang sifat empati Lapindo terhadap korban. Pendekatan ini mesti diubah, apalagi, berdasarkan Teori Situational of the Public-nya James Grunig (1979), fakta di lapangan membuktikan bahwa para korban adalah publik yang aktif, yang menyadari bahwa ada sesuatu yang  tidak beres dari permasalahan yang dihadapinya (Problem recognition), tetapi di sisi lain korban mempersepsi ada kendala-kendala komunikasi ketika korban ingin mendapatkan informasi (constraint recognition). Kendala komunikasi ini, antara lain mencakup adanya limitasi ideologi yang mempengaruhi konstruksi korban atas realita.[6]

Fokus pada korban: prinsip pertama manajemen krisis
            Pertanyaannya, mengapa ketiga faktor ketidakefektifan manajemen krisis terjadi? Ini pertanyaan yang rumit dicari jawabannya. Banyak kepentingan turut bermain, politik maupun ekonomi. Banyak penulis yang mencoba memberi asumsi-asumsi tentang adanya hubungan khusus antara kekuasaan dan bisnisman serta para aktor yang berperan dalam krisis ini (Akbar, 2007; Santoso, 2007; Schiller, Lucas, & Sulistiyanto, 2008; Utomo, 2009). Tetapi, dari pengamatan lapangan, penulis menyimpulkan karena manajemen krisis yang dilakukan tidak mendasarkan pada prinsip: selamatkan publik, reputasi otomatis menyusul ! (save the public, the reputation automatically involved). 
            Teori Situational Crisis Communication (SCC) menekankan bahwa manajemen krisis mesti menjadikan keselamatan publik sebagai prioritas nomor satu daripada fokus pada menjaga reputasi (Coombs, 2007). Artinya, harus ada upaya-upaya melindungi publik (dalam hal ini korban) dari ancaman kerusakan sosial, fisik maupun psikologi. Jika tidak, maka kredibilitas dan reputasi perusahaan akan jatuh.
Dalam perspektif manajemen krisis, reputasi perusahaan sangat ditentukan oleh tiga faktor persepsi publik: crisis responsibility, crisis history, dan prior reputational reputation. Crisis responsibility adalah atribusi publik tentang penyebab krisis dan siapa aktor yang mesti bertanggung jawab. Dari wawancara langsung dengan beberapa korban, dapat disampaikan bahwa semua korban mempunyai atribusi bahwa krisis lumpur di Sidoarjo adalah termasuk intentional cluster, artinya Lapindo dipersepsi sebagai penyebab lumpur menyembur dan karenanya harus bertanggung jawab. Atribusi ini disampaikan korban yang telah menerima ganti rugi atau yang belum menerima.[7]  Bahkan semua korban yang diwawancarai tetap memberi atribut Lumpur Lapindo, walaupun jika mereka menerima 100% ganti rugi. Misalnya, informan 4 dari Desa Jatirejo mengatakan: “Saya yakin penyebabnya pengeboran, walau pengadilan mutuskan nggak salah. Wong lokasinya saja di dekat pemukiman penduduk yang padat”.
Crisis history adalah persepsi publik bahwa perusahaan pernah mengalami kasus yang sama di masa lalu, baik mencakup jenis krisisnya atau pun adanya kesamaan penanganan. Dari sisi ini, timbul krisis kepercayaan dari para korban terhadap langkah-langkah yang ditempuh Lapindo dan pemerintah, misalnya apakah skema cicilan akan lancar atau tidak. Karena dari pengalaman sebelumnya, mereka merasakan bahwa aturan2 atau kesepakatan2 sering tidak dijalankan. Informan 5 dari Perumtas mengatakan: “Lapindo punya tanggung jawab, ngasih kita uang kontrak dan jatah hidup. Tapi, sering nggak nepati janji, kayak ganti rugi nggak jelas, trus katanya cash tapi dicicil-cicil.”
Prior relational reputation adalah atribusi publik tentang seberapa baik tingkat perhatian perusahaan terhadap publik. Sebagian informan mengatakan bahwa mereka bahagia mendapat uang ganti rugi yang besar. Seperti yang dikatakan informan 3 dari Desa Siring: “Perlakuannya cukup baik, ukurannya ya jika mereka ngasih ganti rugi lancar.” Walaupun beberapa korban dari Desa Siring mengaku mempunyai kehidupan yang lebih baik setelah menerima ganti rugi, tapi mereka merasa perusahaan tidak memperlakukan mereka dengan baik. Alasannya, pemberian ganti rugi itu merupakan hal yang wajar dan wajib diberikan; mereka telah hidup susah menunggu tanpa kepastian cukup lama; dan ganti rugi uang tidak dapat mengembalikan kehidupan sosial budaya sebelumnya. Jadi, dapat disimpulkan, kecenderungan negatifnya atribusi korban terhadap tiga faktor di atas disebabkan lambannya penanganan dampak sosial kasus ini.[8]
Lebih lanjut, penulis sampaikan asumsi dasar teori SCC menyatakan:
It would be irresponsible to begin crisis communication by focusing on the organization’s reputation. To be ethical, crisis managers must begin their efforts by using communication to address the physical and psychological concerns of the community. It is only after this foundation is established that crisis managers should turn their attentions to reputational assets (Coombs, 2007, p. 165) [emphasis added]

            Dari asumsi dasar Teori SCC di atas, strategi komunikasi dalam krisis manajemen, baik yang secara langsung dilakukan oleh departemen public relations atau departemen lain[9], baru bisa disebut etis dan bertanggung jawab jika menomorsatukan kepentingan publik. Ketertutupan informasi dan kendala-kendala komunikasi di atas harusnya dihindari.
Di sinilah peran serta Public Relations officers untuk melaksanakan fungsi boundary-spanning. Melalui fungsi ini PR menjadi fasilitator komunikasi, satu kaki di pihak manajemen, kaki lainnya di pihak publik. Dia memonitor lingkungannya sehingga mengetahui apa yang terjadi dan menginterpretasi isu-isu yang potensial memengaruhi aktivitas perusahaan dan membantu manajemen merespon isu-isu tersebut melalui aktivitas issue management. Di sini praktisi Public relations bertindak sebagai mitra manajemen untuk mengidentifikasi dan memecahkan permasalahan yang mungkin muncul serta membangun komunikasi dua arah dengan publik. Artinya, manajemen komunikasi mestinya terencana dan kontinyu, bukan hanya responsif saja.
Tentu saja, Public Relations sebagai aktivitas komunikasi sangat dipengaruhi oleh dasar-dasar filosofis sistem yang lebih besar. Akhirnya, berpulang pada masalah tanggung jawab etis Public Relations dalam melaksanakan fungsinya. Logis jika strategi komunikasi diarahkan untuk mengonstruksi frame tertentu. Tetapi, crisis communication seharusnya didasarkan pada upaya menerima beragam cara pandang daripada sekedar memperjuangkan satu ideology tertentu.
 Selama krisis lumpur ini, dapat dikatakan bahwa setiap individu mempunyai konstruksi frame masing-masing. Konstruksi ini dipengaruhi oleh pengalaman dan informasi tentang peristiwa ini. Pada akhirnya, frame tersebut akan mengarahkan respon atau reaksi individu terhadap krisis lumpur ini. Di sinilah, Public relations officers Lapindo berperan penting membentuk frame publik dengan cara  memberi information tertentu, melalui beragam publikasi (misalnya newsletter), press-release yang dimuat media atau membeli time dan space media (beriklan, baik iklan spot ataupun advertorial).[10] 
Selama 4 tahun, berbagai konflik terjadi antara Lapindo, pemerintah, dan korban. Dalam pendekatan kritis, sebenarnya hal ini wajar. Untuk menghadapinya, negara seharusnya memberikan peluang bagi semua pandangan untuk didengarkan, sehingga dominasi ideologi dari satu kelompok yang lebih kuat (secara politis dan ekonomi) dapat dihindari (lihat juga Littlejohn & Foss, 2008). Selama krisis, kondisi ideal tersebut belum dicapai. Para korban mengalami penekanan -tidak mempunyai kekuatan menawar- oleh kelompok yang lebih kuat, sehingga para korban mesti berontak dahulu untuk mendapatkan haknya. Situasi ini terjadi, mengadopsi Marxism, karena upaya-upaya mengatasi krisis lumpur lebih bersifat economical-profit oriented. Pada konteks ini, para korban tidak mempunyai banyak kesempatan akses mengetahui dan menerima hak-haknya. Ini terjadi bahkan sejak sebelum adanya kasus lumpur ini.

Bahan bacaan:
Akbar, A. A. (2007). Konspirasi di balik lumpur lapindo. Yogyakarta: Galang Press.
Burnett, J. J. (1998). A strategic approach to managing crisis. Public Relations Review, 24(4), 475-488.
Cahyadi, F. (2010). Jejak penyesatan informasi kasus lumpur Lapindo  Retrieved May 10, 2010, from http://korbanlumpur.info/opini/artikel/625-jejak-penyesatan-informasi-kasus-lumpur-lapindo.html
Coombs, W. T. (2007). Protecting organization reputation during a crisis: The development and application of situational crisis communication theory. Corporate Reputation Review, 10(3), 163-176. doi: 10.1057/palgrave.crr.1550049
Culbertson, H. M., Jeffers, D. W., Stone, D. B., & Terrell, M. (1993). Social, political, and economic contexts in public relations: Theory and cases  New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher.
Duke, S., & Masland, L. (2002). Crisis communication by the book. Public Relations Quarterly, 47(3), 30-35.
Grunig, J. (1979). A new measure of public opinions on corporate social responsibility. Academy of Management Journal, 22(000004), 738-764.
Hertanto, L. (2010). SBY usul lumpur porong jadi obyek wisata geologist [SBY suggests porong mud become geologist tourism]. Detiknews March 29, 2010. Retrieved 28 April, 2010, from http://us.detiknews.com/read/2010/03/29/160905/1327921/10/sby-usul-lumpur-porong-jadi-obyek-wisata-geologis
Hutapea, R. U. (2010). Tim Ilmuwan Inggris: Pengeboran Lapindo Brantas Picu Semburan Lumpur [England’s scientists: Lapindo Brantas’s Drilling Triggers Mud Eruption]. Detiknews February 12, 2010. Retrieved April 18, 2010, from http://us.detiknews.com/read/2010/02/12/165000/1298498/10/tim-ilmuwan-inggris-pengeboran-lapindo-brantas-picu-semburan-lumpur
Kouzmin, A. (2008). Crisis management in crisis? Journal of Administrative Theory and Praxis, 30(2), 155-183.
Leitch, S., & Neilson, D. (1997). Reframing public relations: New directions for theory and practice. Australian Journal of Communication, 24(2), 17-32.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2008). Theories of human communication (9th ed.). California: Thompson Wadsworth.
Miller, K. (1999). Issues management: The link between organization reality and public perception. Public Relations Quarterly, 44(2), 5-10.
Santoso, V. (2007). Harga Industrialisasi Sektor Migas. Semburan Lumpur Lapindo sebagai Potret Kelemahan Negara dalam Menghadapi Korporasi Ekstraktif Hidrokarbon. CSR Review (Mei-Juni), 4-9.
Schiller, J., Lucas, A., & Sulistiyanto, P. (2008). Learning from the East Java Mudflow: Disaster politics in Indonesia. Indonesia, 85, 51-77.
Smudde, P. (2001). Issue or crisis: A rose by any other name... Public Relations Quarterly, 46(4), 34-36.
Utomo, P. W. (2009). Menggapai mimpi yang terus tertunda: menelusuri proses “ganti-rugi” terhadap korban Lumpur Lapindo [Reaching the dream: description about “compensation” process of the victims of the mud of Lapindo]. Journal of disastrum: Political and economic studies of disaster, 1(1), 27-46.




[1] Makalah disampaikan dalam acara seminar peringatan 4 tahun krisis lumpur lapindo,
[2] Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang dan Mahasiswa Postgraduate School of Communication ECU Australia
[3] Terbanyak adalah korban ledakan pipa pertaminan pada November 2006.
[4] Korban dalam makalah ini, dikhususkan  pada para warga sekitar danau lumpur, baik yang tempat tinggalnya ada di wilayah  peta “terdampak” atau yang “belum terdampak”. Kata terdampak penulis beri tanda kutip, karena indikatornya hanya merujuk pada factor fisik, seperti apakah rumahnya tenggelam atau tidak, tanpa mempertimbangkan factor lain, seperti ekonomi (misalnya, apakah sudah kehilangan nilai ekonomis); psikologi (misalnya, rasa was-was) atau sosial budaya (misalnya, terganggunya aktivitas sosial sehari-hari). Misalnya, dulu (sebelum pipa pertamina meledak) warga Perumtas mengajukan tuntutan agar Lapindo membeli saja tanah dan rumah mereka, tapi ditolak dengan alasan belum terdampak langsung (waktu itu, tanggul berjarak 3 meter dari perumtas). Perumtas baru dinyatakan “terdampak” pada Maret 2007 (Perpres 14/2007), setelah perumahan itu benar-benar berubah menjadi danau atau setelah 5 bulan setelah perumahan itu tidak dapat dihuni lagi.
[5] Tidak adanya manajemen komunikasi yang efektif ini sebenarnya bukan hanya ketika krisis ini terjadi. Misalnya, dari fakta di lapangan, ternyata sebagian besar korban menyatakan tidak mengetahui kegiatan pengeboran, bahkan ada yang mengatakan bahwa selama ini yang mereka dengar adalah daerah tersebut diperuntukkan untuk aktivitas peternakan. Dalam konteks ini, penulis kutip pendapat Ketua Komnas HAM, bahwa telah terjadi pelanggaran atas hak informasi yang dimiliki publik (Cahyadi, 2010)
[6] Misalnya, seorang korban di perumtas sewaktu demo di Jakarta, Desember 2008, mengakui ada seorang pejabat mengatakan bahwa kelompok2 korban (Tim 16, GKLL, dll) merupakan refleksi kemauan warga yang aneh-aneh, selain itu dia mengatakan adanya tim-tim yang door to door ke setiap warga. Menurut penulis, ini bisa diartikan sebagai bentuk kendala-kendala komunikasi yang menyebabkan tingginya level constraint recognition dari korban.  
[7] Menurut Teori SCC, terdapat dua lagi macam atribusi: victim cluster dan accidental cluster. Victim cluster terjadi jika perusahaan dipersepsi sebagai korban, karena krisis disebabkan oleh factor di luar perusahaan; Accidental cluster terjadi bila krisis disebabkan karena ketidaksengajaan yang dilakukan perusahaan.
[8] Ke depan, bisa dilakukan penelitian secara mix metodologi (kualitatif-kuantitatif) tentang ketiga indikator ini, sehingga tingkat generalisasinya lebih tinggi. Bisa dilakukan secara survey atau eksperimental.
[9] Ini penulis tekankan karena ada seorang manajer yang mengatakan bahwa Lapindo tidak mempunyai program PR. Padahal segala bentuk aktivitas komunikasi, internal maupun eksternal, dapat diartikan sebagai aktivitas PR. Definisi PR adalah proses memanage komunikasi antara organisasi dan publiknya atau PR is management by communication (Culbertson, et al., 1993).
[10] Perlu digaris bawahi, beriklan adalah membeli space dan time yang disediakan media. Content iklan benar-benar berasal dari pengiklan. Perlu dibedakan antara iklan dan publisitas. Publisitas bersifat “free-charge” meski menggunakan space dan time media. Publisitas adalah “benar-benar berita” yang dibuat wartawan meski salah satu sumber beritanya adalah press-release perusahaan. Publisitas beda dengan advertorial. Advertorial adalah iklan yang disusun dalam bentuk berita. Bisa ditulis oleh wartawan. Berkaitan dengan public right to know, secara etis, identitas advertorial mesti jelas, seperti mencantumkan kata “Adv, Advertorial, Inforial” di bagian awal atau akhir berita. Kalau tidak, sulit membedakan yang mana “benar-benar berita” dan yang mana iklan sehingga menimbulkan fenomena “hidden advertising”.

Monday, February 14, 2011

BANGKITLAH PENONTON TV

Tulisan saya ini dimuat juga di Kompas, 26 Mei 2007 dan Jurnal Kommti BPPI Sby, vol 10 no 21 Apr 2007


Media televisi, di Indonesia menjadi media dengan konsumen terbesar dibanding jenis media lainnya (cetak, radio dan interaktif/internet). Peluang mencari keuntungan pun semakin besar. Namun, sistem kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan semakin mewarnai pola perilaku siaran televisi. Rating menjadi dewa segala-galanya bagi industri ini. Yang penting iklan masuk. Semakin tinggi rating, semakin besar uang yang masuk kocek. Mereka dengan percaya diri menganggap bahwa tayangannya digemari hanya berdasarkan hitung-hitungan rating. Meskipun hingga kini tidak ada jaminan berapa sebenarnya yang suka, berapa yang tidak suka. Jadi, besar kemungkinan terjadi ”bias-rating’.

Sejak era reformasi, Indonesia mengalami “booming” media televisi. Kita hidup dalam era industri televisi. Setiap detik, rumah kita tiada henti disuguhi produk-produk informasi dari media. Informasi menjadi ”sarapan pertama” di pagi hari dan ”menu terakhir” menjelang tidur. Konsumen TV pun semakin dimanjakan dengan tampilnya berbagai varian program, meski tidak semuanya merupakan program yang benar-benar baru. Banyak juga yang “baru” tetapi “stok lama” alias duplikasi atau sekedar latah nunut popular program lainnya.
Acara TV bias disebut merefleksikan kebudayaan di masyarakat sehingga apa yang terjadi di layar kaca merupakan refleksi apa yang terjadi di masyarakat. Apabila sekarang di media-media TV yang menduduki rating tertinggi adalah tayangan-tayangan yang berisi kekerasan, gossip, dan misteri, mau tidak mau kita mesti akui itulah gambaran masyarakat kita saat ini. Masyarakat yang suka ngobrol keburukan orang lain, suka kekerasan dan suka hal-hal yang bersifat misteri (klenik).
Tetapi, di sisi lain –dalam perspektif agenda Setting dan Cultivation Theory- media TV berkontribusi besar dalam membentuk pola piker demikian. Bila dikaitkan dengan fungsi media sebagai agen pewarisan nilai-nilai sosial, nilai-nilai kekerasan, gossip, dan mistik itulah yang diwariskan media ke anak cucu kita. Melalui strategi framingnya: cara bercerita, penonjolan kharakter, TV bertanggung jawab membentuk pola piker yang “aneh” itu. Misalnya, seorang Aa’ Gym menjadi sorotan bahkan dibenci penonton (khususnya ibu-ibu dan remaja putrid) hingga “hilang” dari layar televisi ketika memutuskan poligami. Padahal tidak ada larangan poligami dalam agama Islam. Tayangan televisi seakan-akan memvonis perilaku tersebut sebagai hal yang tabu. Tetapi, bagaimana Inul Daratista dielu-elukan televisi –sebagai ikon pembangkit rating- karena goyang ngebor yang “hot”. Bagaimana Andarla Early dan artis lain yang “menjual diri” dengan pose “menggiurkan” di majalah Playboy malah menjadi ladang menarik penonton, dan tetap laris sebagai presenter atau main di sinetron. Artinya, dunia ini terbalik. Yang tidak dilarang agama dikucilkan, yang dilarang agama menjadi besar.

Mutu Siaran Rendah
Banyak sekali tayangan sinetron di layar televisi kita -yang jika diamati lebih mendalam -bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong. Jelas ini bertentangan dengan UU Penyiaran 32/2002. Mayoritas acara televisi adalah sinetron yang ’serba ekstra’ (ekstra sadis, ekstra sial, ekstra baik, ekstra kaya raya, ekstra mistis, ekstra cantik, dan ekstra lainnya), tayangan gosip yang “setiap detik” hadir dengan beragam judul namun seragam dalam substansi, serta acara kriminal yang justru tidak memperingatkan audiensnya agar waspada namun malahan menakut-nakuti dan pamer kegagahan aparat atau kesadisan pelaku.
Artinya, tayangan-tayangannya cenderung tidak realistis, mengada-ada, hipereality, dan sulit diterima nalar. Sifat tidak realistis, mengada-ada, hiperealty dan sulit diterima nalar tersebut bukan hanya terjadi pada tayangan-tayangan mistis, tapi juga pada tayangan-tayangan yang non-mistis. Bahkan dengan seringnya tayangan mistis, maka media semakin mengeksplorasi dunia irrasional kita. Ini negatif bagi kemajuan bangsa. Jika pola pikir irrasional (klenik, mitos) banyak mewarnai perilaku kita maka bangsa ini sulit berkembang.
Contoh sederhana yang dapat diamati dari tampilan sinetron yang cukup populer berjudul Bidadari yang ditayangkan di RCTI. Dalam salah satu adegannya, ditampilkan seorang siswi SMP menyiramkan air raksa ke wajah temannya. Banyak tayangan-tayangan berbau seks yang dibungkus (baca: diperhalus) tayangan-tayangan religi, seperti kisah-kisah pelacur, istri yang selingkuh dalam sinetron Rahasia Ilahi, Hidayah, dan lainnya. Bahkan tayangan yang isinya kebanyakan tentang ”azab Tuhan” yang dikemas berlebihan itu sering membuat saya berguman: ”woh.. apa benar Allah sekejam itu.... manusia saja bisa memaafkan kesalahan, apalagi Allah”.
Ada siswa SD yang berani meledek gurunya di depan kelas dalam sinetron Kecil-Kecil Ngobyek. Seorang Ibu kaya raya, berpendidikan tinggi dengan gampangnya meminta anaknya yang seorang dokter untuk kawin kontrak agar mempunyai cucu kandung. Padahal si anak sudah mempunyai istri. Dengan entengnya ibu tersebut mengatakan kepada menantunya: ”Jangan khawatir Intan, Rado tetap suamimu. Setelah istri kontraknya hamil dan melahirkan maka Rado dan kamu tetap suami-istri” (ikuti Sinetron Intan-RCTI). Belum lagi isi berita kriminal yang setiap hari ditayangkan di seluruh stasiun televisi kita. Berita pemerkosaan, perlakuan tidak manusiawi pada pelaku kejahatan, dengan diikat lehernya menggunakan tali dan hanya berpakaian dalam, perlakuan yang lebih sesuai untuk hewan daripada manusia. Adegan-adegan dramatisasi seperti ini banyak sekali mewarnai tayangan-tayangan televisi yang ironisnya menempati posisi rating tertinggi. Ada siswi SMA yang mencium pacarnya di depan kelas, padahal di tempat terbuka.

Perlunya Media Literacy
Masyarakat Indonesia yang sebagian besar belum memiliki tradisi membaca, menjadikan media televisi ini sebagai rekan pengisi waktu luang. Menganggap televisi telah mampu memenuhi semua kebutuhan akan media, termasuk di dalamnya memperoleh informasi bahkan menginterpretasi realitas. Ironisnya, terkadang media lebih dipercaya daripada relasi sosial yang lebih kongkret. Apa yang disajikan di televisi yang bersifat realitas simbolik, itulah yang dianggap sebagai realitas objektif yang tengah terjadi di luar sana. Bahkan semakin lama, media memberikan interpretasi sepihak sehingga mengarahkan pikiran audiens agar mengikuti alur logikanya.
Karena itu, perlu upaya dari berbagai pihak –masyarakat, pemerintah, media, akademisi- untuk memberikan ketrampilan “melek media”. Media literacy merupakan ketrampilan untuk menganalisis isi media. Dalam tataran yang sederhana, melek media merupakan ketrampilan untuk mencerna, mengkritisi isi media dan memilih untuk menonton apabila tayangan dianggap mengandung risiko. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam ketrampilan media literacy ini mencakup:
1.      Memberikan pengetahuan kepada konsumen media akan pentingnya memiliki keterampilan media literacy dalam menonton tayangan media
2.      Menunjukkan resiko yang dapat terjadi apabila konsumen media menonton tayangan yang mengandung unsur-unsur berbahaya, semisal seks dan kekerasan, termasuk tayangan yang bersifat irrasional.
3.      Memberikan pembelajaran keterampilan panduan media bagi konsumen media.
4.      Meningkatkan keterampilan komunikasi persuasif konsumen media dalam rangka sosialisasi keterampilan media literacy pada peer group-nya.

Tujuan media literacy adalah agar penonton mampu mengkritisi dan tidak mudah meniru adegan-adegan dalam tayangan media. Penonton pun bias menjadi figure yang bukan sekedar objek tontonan. Tentu, hal ini perlu didukung oleh pekerja media. Praktik media jangan hanya berdasarkan indicator-indikator semu seperti rating maupun iklan. Harus ada keinginan untuk “shape” (membentuk) bukan hanya “give” (memberi). Artinya, jangan hanya sekedar member tontonan, tapi melalui tontonan itu, media diharap membentuk pola pikir yang positif bagi kemajuan bangsa.

PENEGAKAN REGULASI PENYIARAN
            Tak salah jika dikatakan kita ini hidup dalam dunia penyiaran yang bebas. Sejak Deppen dilikuidasi tahun 1999, produk hukum penyiaran yang dihasilkannya (UU Penyiaran 24/1997) juga turut dilikuidasi. Penggantinya (UU Penyiaran 32/2002) ternyata hingga kini masih dilaksanakan “setengah hati”. Bahkan Direktur Penyiaran Ditjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Depkominfo dalam Forum Sosialisasi Regulasi Penyiaran di Malang menyebutnya sebagai kevakuman pelayanan publik di bidang penyiaran yang terjadi selama 4,5 tahun terakhir ini.
Bisa ditebak apa yang terjadi. Di bidang perizinan, telah tumbuh ribuan lembaga penyiaran illegal yang bahkan mendesak stasiun penyiaran yang berizin resmi, banyaknya izin-izin penyiaran lokal yang dikeluarkan pemerintah daerah dengan dasar UU Otonomi Daerah (bukan UU Penyiaran), dan penggunaan frekuensi yang “semau gue”. Di bidang isi siaran, terjadi kebebasan memproduksi tayangan tanpa bisa diatur sehingga dapat berpengaruh negatif terhadap masyarakat khususnya anak-anak. Pengelola media masih banyak yang tidak patuh pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dari KPI. Sebenarnya, UU Penyiaran no 32/2002 dengan jelas membuat regulasi tentang standar siaran. Standar ini mestinya menjadi acuan bagi pengelola media dalam memproduksi tayangan media, antara lain bahwa tayangan media mesti mengandung:
a.       rasa hormat terhadap pandangan keagamaan
b.      rasa hormat terhadap hal pribadi
c.       kesopanan dan kesusilaan
d.      pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme
e.       perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan
f.       penggolongan program berdasarkan usia khalayak
g.       aturan penyiaran program dalam bahasa asing
h.      larangan siaran bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong
i.        larangan menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika, dan obat terlarang
j.        larangan mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan
k.      larangan memperolok, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia atau merusak hubungan internasional.

Daftar Pustaka:
Kriyantono, Rachmat, Kompas, 26 Mei 2007, Rubrik Forum “Bangkitlah Penonton TV”
Kriyantono, Rachmat, Pemberdayaan konsumen TV melalui ketrampilan media literacy & penegakan regulasi penyiaran, Jurnal KommTi BPPI Surabaya, vol.10 no.21, April 2007
Purwasito, Andrik, 2007, Produk Lokal Semangat Global: Perspektif isi Siaran Penyiaran Swasta Lokal dan Penyiaran Komunitas, Forum Sosialisasi Regulasi Penyiaran, Depkominfo & UMM
Tim Pengabdian pada Masyarakat tentang Media Literacy, Program Ilmu Sosial, Universitas Brawijaya, Malang, 2007