Sunday, August 22, 2010

KORBAN BELUM MERDEKA DARI JANJI


            “Janji-janji tinggal janji bulan madu hanya mimpi…”, sebagian lirik lagu “Desember Kelabu” di era 80an. Lirik ini saat ini dirasakan oleh korban lumpur Lapindo. Menurut Jawa Pos (17/8/2010), korban belum mendapatkan cicilan ganti rugi dari Lapindo seperti yang dijanjikan. Di Koran tersebut, Minarak Lapindo Jaya, mengaku sedang mengalami kesulitan finansial. Pembayaran pun tersendat-sendat. MLJ mengakui asetnya banyak. Tapi, tidak semudah membalikkan tangan untuk menjualnya. Cicilan ganti rugi 15 juta per bulan macet sejak beberapa bulan lalu. Abdul, warga Siring yang saya wawancarai, mengaku tidak menerima cicilan sejak Maret 2010. Indikasi macet, sudah tercium jauh sebelumnya. Misalnya, Ketua Tim 16 Perumtas mengakui untuk cicilan bulan Maret 2010, baru diterima pada Mei 2010 sedangkan untuk Mei belum (JP, 27/5/2010).
Kesekian kali, korban Lapindo menerima janji-janji tinggal janji. Hal ini membuat tingkat kerentanan (vulnerability) psikologis, sosial, dan ekonomi korban semakin besar. Memang ada korban yang bisa mengatasi tingkat kerentanan, terutama yang sudah menerima 100% cicilan. Mereka ini relatif bisa bertahan dan bernafas lega meski harus menunggu lama. Kebanyakan karena mereka mempunyai penghasilan tetap yang cukup tinggi dan mempunyai rumah lain selain yang berada di lokasi lumpur, atau mereka yang mempunyai kemampuan wirausaha. Tetapi, saya kira jumlah mereka sangatlah kecil. Data terakhir yang saya miliki, dari 13.127 sertifikat yang diverifikasi MLJ, yang sudah dilunasi baru 6.786 berkas (Ano, dkk, 2010). Itu belum termasuk korban yang punya masalah legalitas sertifikat. Tidak semua korban yang sudah menerima 100% cicilan pun bisa menikmati penuh ganti rugi itu. Banyak di antara mereka menggunakannya untuk membayar utang biaya hidup selama proses menunggu pencairan ganti rugi.
Bahkan, Abdul, korban yang telah menerima 20% hingga Rp 400 juta –karena memiliki tanah dan bangunan sangat luas- pun belum bisa tidur nyenyak. Dia masih mengkhawatirkan 80% nya dapat dilunasi atau tidak. Dengan jumlah uang sebesar itu, kalau dicicil Rp 15 juta per bulan, ganti ruginya baru lunas sepuluh tahun lagi. Dalam waktu itu, apakah ada jaminan tidak terjadi perubahan kebijakan, misalnya dengan pergantian rezim?

Ketertutupan Informasi
Dari berita JP (17/8) “Mediasi Korban Lumpur Macet, PT MLJ Mengaku Kehabisan Uang” di atas, persoalan ketertutupan informasi kembali menggelitik saya. Informasi yang tertutup selalu terjadi seiring dengan “obral janji”. Dulu, sesuai Perpres no 14/2007, para korban dijanjikan menerima ganti rugi 80% setelah dua tahun masa kontrak berakhir. Tapi, sampai batas waktu tiba, sekitar Mei 2008 (peta 1) dan Desember 2008 (peta 2), janji itu tidak terpenuhi. Reaksi baru muncul setelah berbagai aksi demo dilakukan korban. Dikatakan bahwa perusahaan mengalami kesulitan keuangan akibat krisis ekonomi global. Sementara publik tidak mendapat kejelasan informasi tentang kebenaran alasan tersebut karena tidak ada audit terbuka yang bisa memastikannya. Alasan krisis finansial menimbulkan tanda tanya publik. Ada yang mengatakan hal itu tidak mungkin karena Lapindo menerima klaim asuransi sebesar US$ 25 juta (Tempo Interaktif, 19/3/2009), Lapindo menerima US$ 72 juta dari Santos (rekanan Lapindo), dan Forbes menetapkan Bakrie sebagai orang terkaya di Indonesia dengan US$ 5.4 juta (Munawwaroh, 2007). Belum lagi beberapa pesta perkawinan keluarga Bakrie yang menghabiskan dana milyaran rupiah (Hasan, 2008). Kini alasan yang sama muncul lagi. Seharusnya publik mendapat akses untuk meminta dilakukan audit, mengingat kewajiban ganti rugi diatur oleh perpres yang merupakan keputusan publik.
Ketertutupan informasi menjadi satu faktor munculnya rumor di masyarakat, antara lain rumor hubungan khusus pemerintah dengan Lapindo, dan pemerintah maupun Lapindo dinilai tidak bersungguh-sungguh terhadap nasib korban lumpur. Menurut Abdul, misalnya, Lapindo mempunyai asset yang besar sedangkan jumlah ganti rugi terlalu kecil dibanding jumlah asset itu. Dia mengaku tidak ada informasi yang tersedia sebelum dan setelah lumpur muncul. Tanpa demonstrasi, korban tidak mendapatkan informasi. Informasi yang diberikan pun sebatas soal ganti rugi. Senada dengan Abdul, Qodir warga Jatirejo, merasa ada sesuatu yang ditutup-tupi. Sementara, Siti, warga Perumtas mengakui bahwa itu adalah konsekuensi yang harus dipenuhi Lapindo. Kesulitan finansial hanya alasan menghindari tanggung jawab dan mestinya pemerintah mendesak Lapindo.

Manajemen Krisis Tak Berpihak Korban
Mengadopsi ide Leitch & Neilson (1979), bisa dikatakan Lapindo memperlakukan korban berdasarkan pendekatan strategik. Korban diasumsikan pasif hanya menerima pesan-pesan dari perusahaan dan berada dalam subordinasi perusahaan. Korban diarahkan untuk memahami konstruksi Lapindo, seperti Lapindo adalah korban juga dan telah berbaik hati, banyak korban yang bahagia karena menerima uang banyak, kesulitan finansial, dan konstruksi bahwa ini bencana alam.
Padahal mengacu Teori Situational of the Public (Grunig, 1979), korban lumpur adalah publik yang butuh dan aktif mencari informasi, mereka menyadari ada sesuatu yang tidak beres (problem recognition) tetapi mereka juga merasa kesulitan untuk mengekspresikan keinginan karena kendala-kendala komunikasi (constraint recognition). Ini terjadi, berdasarkan Teori Situational Crisis Communication, baik pemerintah maupun Lapindo tidak menerapkan manajemen yang berpihak korban. Seharusnya, prioritas pertama adalah jaminan keselamatan dan kehidupan korban.
Konflik antara korban, pemerintah dan Lapindo berulang kali terjadi. Mengadopsi Marxism, situasi ini adalah wajar dalam setiap proses sosial. Untuk mengatasinya, saya pikir negara perlu memberikan kesempatan kepada korban untuk didengarkan sehingga dominasi kelompok yang kuat terhadap yang lemah bisa diminimalkan. Jaminan keselamatan dan kehidupan dirasa belum ada, sehingga korban mesti melawan untuk mendapatkan hak-haknya. Selama orientasi profit ekonomi mendasari penanganan kasus lumpur, jangan harap korban lumpur akan merdeka dari janji-janji kosong.


Monday, August 16, 2010

APA HUBUNGAN PAKAIAN DAN OTAK?


Pernah mahasiswa saya mengeluh, “kuliah kok aneh-aneh, mesti pakai baju rapi dan bersepatu”. Lalu dia menambahkan, “apa hubungannya dengan kepandaian seseorang?; apa ada hubungan antara baju rapi dengan otak?” Hal ini membuat saya teringat beberapa waktu lalu, saat saya masih kuliah. Di kampus tertempel gambar “sandal dicoret” di pintu depan fakultas. Beberapa dosen melarang mahasiswa yang menggunakan kaos oblong (tidak berkerah) dan mahasiswa yang memakai sandal untuk masuk ruang kuliah. Sempat beberapa kali mahasiswa melakukan unjuk rasa menentang aturan itu. Tapi, “kuasa dosen” seakan-akan menjadi representasi “kuasa Tuhan” di kelas. Dalam realita, banyak mahasiswa yang menuruti aturan itu –memakai kemeja atau kaos berkerah dan bersepatu. Meski pun terkadang masih jauh untuk dibilang rapi (definisi rapi pun bersifat relatif), memang pakai sepatu, tapi bagian belakangnya diinjak tumit, memakai kemeja dimasukkan di celana jean yang bolong dan lainnya.
Di tulisan ini saya tidak menyalahkan dosen atau pun mahasiswa. Mahasiswa merasa punya a right to chose (maklum anak muda), tapi dosen, seperti yang saya sebutkan, punya “kuasa dosen”. Sebenarnya, kedua hal ini mesti sejalan. Perkuliahan adalah proses transfer ilmu, yang bisa berjalan baik bila kedua pihak terjadi komunikasi dua arah, dan terjadi kontak yang seimbang dalam konteks transfer ilmu. Situasi ini dimungkinkan bila si dosen menyampaikan alasan2 di balik aturan2 yang dilakukannya secara logis akademik, bukan karena ego “kuasa dosen”. Terjadilah dialog yang resiprokal.
Kembali kepada keluhan mahasiswa saya di atas, saya ingin menyampaikan sedikit perspektif untuk mencoba memahami aturan itu. Perspektif ini saya mulai dengan menjawab pertanyaan si mahasiswa: “apakah ada hubungan antara baju rapi dengan otak?” Jawaban saya: “Tidak ada hubungannya”, karena itu “jangan dihubung-hubungkan.” Saya cenderung melihat bahwa hal ini terjadi lebih karena cultural contextual. Faktor budaya kita. Di budaya barat, Australia misalnya, lebih “santai, easy-going”. Mahasiswa dan bahkan dosen –apalagi di musim panas- boleh2 saja pakai kaos oblong , celana pendek dan bersandal. Pertanyaannya, apakah perlu budaya kita dihilangkan? Klo perlu, sudah siapkah sikap mental masyarakat kita? Apa urgensinya? Budaya muncul dan dipertahankan karena dianggap sesuai untuk dapat memudahkan kehidupan. Lha, di sini terjadi cultural lag, terjadi perbedaan referensi budaya antara mhs dan dosen. Dosen dengan referensi budaya mainstream di masyarakat, sedangkan mhs dg referensi budaya alternatif (bisa bersumber dari mana pun, misalnya dari budaya barat)
Budaya, jelas, memengaruhi segala aspek kehidupan, termasuk penjelasan dan aplikasi teoritis. Dalam perspektif teoritis, budaya masyarakat kita masih cenderung menganggap penampilan fisik sebagai hal yang penting. Budaya Jawa, misalnya, bilang “ajine rogo soko busono” (badan dihargai karena baju yang dikenakan). Setidaknya, ada beberapa perspektif yang saya tawarkan di tulisan ini, yang semuanya bersifat cultural contextual:
1.       Komunikasi bersifat kontekstual. Artinya, perilaku komunikasi sangat dipengaruhi oleh dimensi-dimensi waktu, fisik, sosiologis, dan psikologi. Berpakaian adalah berkomunikasi. Pakaian adalah seperangkat symbol yang mengandung makna bagi orang lain. Misalnya, dimensi waktu: pakaian musim panas tentu beda dengan musim dingin; dimensi fisik: pakaian di ruang kuliah tentu berbeda dengan di tempat tidur; dimensi sosiologis: berpakaian di depan bos (apalagi sedang wawancara pekerjaan) tentu berbeda dengan di depan teman sekampung; dimensi psikologis: berpakaian di saat melayat tentu berbeda saat pesta ulang tahun. Makna symbol tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis2 dimensinya. Berpakaian hitam-hitam saat melayat disimbolkan turut berduka. Tapi, apa makna dari symbol pakaian merah-merah menyala? Tentu beda.
2.       We can’t not communicate. Apa pun yang kita lakukan, kita kenakan, kita omongkan, kita tidak lakukan, kita diam, bahkan ketika tidur pun berpotensi menimbulkan makna bagi orang lain, sengaja atau tidak kita sengaja, disadari atau tidak kita sadari. Kita adalah makhluk bersimbol. Bahkan ada yang menyebut hewan bersimbol (animal symbolicum), karena Simbol lah yang membedakan kita dengan hewan. Simbol dibentuk dan dimaknai oleh pikiran. Dalam perspekstif ini, mahasiswa yang berpakaian rapi mengandung makna berbeda dengan yang berpakain seadanya (kaos oblong). Secara umum, budaya kita menganggap pakaian rapi sebagai symbol “kesungguhan diri, menghormati orang lain bahkan juga status sosial”.
3.       You are PR on your self. Everybody is a PR. Dalam perspektif public relations (PR), dikenal dua macam pendekatan: PR sebagai metode dan PR sebagai teknik komunikasi. PR sebagai metode berarti kegiatan mengkomunikasikan perusahaan/individu dilakukan secara terorganisasi dan terstruktur. Sedangkan PR sebagai teknik komunikasi, berarti kegiatan mengkomunikasikan perusahaan/individu dilakukan oleh individu2 di dalam perusahaan/individu2 itu sendiri. Jadi, setiap orang adalah PR bagi dirinya sendiri. Orang berpakaian rapi memPR kan bahwa dia “sungguh2, mempunyai konsep diri yang positif, menghargai orang”. Siapa diri anda di PR kan dari symbol pakaian anda.
4.       Teori Hallo Effect. Teori komunikasi ini (berasal dari rumpun psikologi) berasumsi bahwa orang cenderung melihat perilaku orang lain berdasarkan simbol2 tertentu yang melekat pada orang lain tersebut. Ada semacam primary effect of behavior. Contoh: di sebuah masjid, seseorang kehilangan sandal. Di situ ada dua orang, yang satu memakai jas, berdasi dan bersepatu, yang lainnya berpakaian lusuh tak bersepatu. Mana kira2 yang dituduh?
Sekali lagi perspektif yang saya tawarkan bersifat cultural contextual. Perlu dibuktikan secara empiris, apakah konteks2 budaya yang melandasi perspektif2 di atas bersifat universal atau lokalitas di masyarakat kita saja, misalnya masyarakat Jawa (salah satunya budaya feodal). Budaya adalah kharakter bangsa. Selama budaya itu dianggap baik dan membantu memudahkan kehidupan, maka nilai2 budaya itu masih dipertahankan. Jadi, pertanyaannya: “Apakah nilai2 budaya kita itu perlu diubah? Kalau diubah, seberapa besar urgensinya? Siapkah masyarakat kita akan perubahan itu?”
Jadi, selama mainstream budaya kita adalah "ajine rogo soko busono" maka mahasiswa mesti berpakaian rapi. rapi diartikan dg kemeja, kaos berkerah dan bersepatu. Terlepas dari segala uraian di atas, saya berpikir bahwa memakai kemeja, kaos berkerah dan bersepatu itu gampang kok. Rapi tidak harus mewah bukan? 

Sunday, August 15, 2010

BERI MAHASISWA KEBEBASAN MENENTUKAN JUDUL SKRIPSI (Ruang Lingkup Skripsi Ilmu Komunikasi)


Dikutip dari Buku “Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai contoh praktis riset media, public relations, adverstising, komunikasi organisasi, komunikasi pemasaran”, Penulis: Rachmat Kriyantono, Penerbit: Prenada Jakarta, cetakan ke-1 (2006), ke-2 (2007), ke-3 (2008).

Beberapa tahun lalu, seorang mahasiswa public relations bercerita bahwa judul skripsinya ditolak dosennya, karena si mahasiswa meneliti agenda setting media. Kata si dosen, agenda setting adalah penelitiannya mahasiswa komunikasi massa bukan public relations. Dari cerita itu, saya mengatakan bahwa pendapat si dosen tersebut tidak benar. Penjelasan saya, terurai dalam tulisan berikut ini:
            Objek Ilmu Komunikasi ada dua, objek material (subject matter) dan objek formal (focus of interest). Sebagai Ilmu Sosial, Ilmu Komunikasi mempunyai objek material yang sama dengan ilmu-ilmu sosial lainnya, yaitu mengkaji perilaku (kehidupan) sosial. Tetapi, untuk membedakannya, setiap ilmu mempunyai objek formalnya masing-masing. Jadi, objek formal adalah ciri khas yang dimiliki suatu ilmu dan secara spesifik menjadi fokus kajiannya.
            Objek formal Ilmu Komunikasi adalah “segala produksi, proses, dan pengaruh dari system tanda dan lambang melalui pengembangan teori-teori yang dapat diuji dan digeneralisasikan dengan tujuan menjelaskan fenomena yang berkaitan dengan  produksi, proses, dan pengaruh dari system tanda dan lambang dalam kehidupan manusia”.
            Dengan kata lain, objek formal di atas adalah fenomena komunikasi dalam kehidupan kita, karena komunikasi merupakan proses pertukaran tanda dan lambang dalam kehidupan manusia. Proses pertukaran tanda dan lambang ini disebut juga sebagai proses pertukaran pesan, karena pesan merupakan seperangkat tanda dan lambang yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung makna (informasi) bagi orang lain. Jadi, ruang lingkup komunikasi berkaitan dengan produksi serta proses pertukaran pesan dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.
            Proses pertukaran pesan ini terjadi melalui komponen2 komunikasi. Pesan berpindah dari komunikator (yang menyampaikan pesan), melalui media (channel), menuju ke penerima pesan (komunikan). Setelah sampai pada penerima dimungkinkan memunculkan efek2 tertentu. Hal ini yang dijelaskan oleh Harold Lasswell, yaitu:  who says what in which channel to whom with what effect.
            Sampai di sini, dapat dijabarkan bahwa penelitian komunikasi mencakup:
a.       Studi komunikator (who), yaitu studi mengenai kominkator sebagai individu maupun institusi. Contoh: penelitian tentang kredibilitas Radio Suara Surabaya FM dalam memberitakan berita kriminal.
b.      Studi pesan (says what), yaitu studi tentang isi pesan, analisis teks, semiotic, pesan verbal dan nonverbal, cpy-testing iklan atau analisis isi program public relations. Contoh: penelitian analisis isi penggunaan bahasa Suroboyoan dalam acara berita Pojok Kampung JTV.
c.       Studi media (in which channel), yaitu studi tentang saluran komunikasi. Contoh: studi tentang proses pembuatan berita di meja redaksi.
d.      Studi khalayak (to whom), yaitu studi tentang khalayak. Contoh: penelitian opini, profil khalayak, dsb.
e.       Studi efek (with what effect), yaitu studi tentang efek terpaan pesan. Contoh: efek terpaan iklan terhadap perilaku membeli.
Studi2 di atas dapat terjadi pada semua tingkatan (konteks) komunikasi, seperti komunikasi interpersonal, kelompok, organisasi atau komunikasi massa. Masing2 tingkatan komunikasi di atas mempunyai bidang2 komunikasi, yaitu media massa, public relations, periklanan, komunikasi pemasaran, dan lainnya. Contoh: Studi analisis isi berita Koran memorandum adalah studi yang terjadi pada tingkatan komunikasi massa dan bidang media massa. Studi tentang proses produksi berita di meja redaksi Koran Memorandum adalah studi yang terjadi pada tingkatan komunikasi interpersonal dan bidang media massa.
            Coba bandingkan contoh perumusan masalah berikut ini:
a.       Opini mahasiswa terhadap pemberitaan konflik Aceh di Majalah Tempo
b.      Korelasi antara terpaan pemberitaan konflik Aceh dengan opini mahasiswa terhadap konflik Aceh.
c.       Korelasi antara afiliasi politik mahasiswa dengan opini mahasiswa terhadap konflik Aceh.
d.      Opini mahasiswa terhadap konflik Aceh.
Masalah (a) dan (b) adalah fenomena komunikasi. Karena mencakup interaksi antara mahasiswa sebagai khalayak dengan produksi, proses dan pengaruh media, yaitu berita tentang konflik ceh dan pengaruhnya terhadap khalayak. Berita adalah seperangkat tanda dan lambang. Sedangkan (c) dan (d) lebih memfokuskan pada opini mahasiswa tentang suatu peristiwa sosial yang terjadi, yaitu konflik Aceh.
            Namun demikian, tingkatan (konteks) komunikasi semakin lama semakin sulit dibatasi. Hal ini antara lain akibat pengaruh teknologi komunikasi yang berkembang terus. Misalnya, jika dahulu prinsip interaktif dua arah hanya terjadi dalam konteks komunikasi interpersonal, sekarang pun komunikasi massa melakukannya. Kita sering melihat penonton TV langsung berinteraktif dengan penyiar. Kita pun sulit membedakan mana penelitian media massa dan mana yang public relations, misalnya. Penelitian “tracking media”, misalnya, bukan hanya untuk menguji rubrik2 surat kabar, tapi juga digunakan mengetahui penilaian karyawan tentang bulletin yang ditulis praktisi PR.
            Kembali ke cerita mahasiswa di atas, kita diharapkan jangan terlalu kaku dalam membatasi bidang-bidang penelitian untuk skripsi mahasiswa. Banyak ditemukan, mahasiswa public relations haya boleh membuat judul2 skripsi tentang public relations. Mahasiswa jurnalistik harus meneliti masalah2 jurnalistik dan media massa. Pertanyaannya: apa saja sih lingkup penelitian public relations? Apa saja sih lingkup penelitian media? Apakah mahasiswa public relations tidak boleh membuat skripsi tentang analisis isi media? Apakah mahasiswa jurnalistik tidak boleh meneliti tentang copy testing?
            Apakah masing2 bidang bersifat terpisah secara jelas (mutually exclusive)? Jawabannya TIDAK. Bagi saya, mahasiswa mesti diberi kebebasan dalam menentukan judul skripsinya, asal jelas fokus penelitiannya, yaitu sesuai dengan objek formal Ilmu Komunikasi. Misalnya, mahasiswa public relations dapat meneliti analisis isi opini pembaca surat kabar berdasarkan fokus (sudut pandang) bahwa seorang PR harus mengukur bagaimana opini publik terhadap citra perusahaannya, meski pun opini itu disampaikan di media massa. Contoh lain: “pengaruh terpaan berita safety riding terhadap sikap khalayak pada program safety riding” dapat diteliti oleh mahasiswa public relations (dari sisi kampanye PR) dan juga oleh mahasiswa komunikasi massa (dari sisi efek media massa).      

PENULISAN YG BENAR

Setiap 17 Agustus, di jalan-jalan, di media massa, di panggung-panggung hiburan bahkan ketika seorang MC berbicara, saya melihat sering terjadi kesalahan dalam penulisan ucapan selamat ulang tahun kemerdekaan. Di sini, saya sampaikan beberapa contohnya:
1. HUT RI ke 65 (Salah); HUT ke-65 RI (Benar). Alasannya, jumlah angka 65 itu mengartikan jumlah ulang tahunnya, bukan jumlah RI (karena di dunia ini, jumlah RI hanya 1)
2. Dirgahayu ke 65 RI (Salah); Dirgahayu RI di Ulang Tahunnya ke-65 (Benar). Alasannya, "Dirgahayu" berarti "Rahayu", "Sentosa Selamanya", "Panjang Umur". Jadi tidak perlu dibatasi waktu. Diharapkan RI itu panjang umur, sentosa dan rahayu selamanya. Tidak cuma sebatas sampai usia 65 tahun.

HIDDEN ADVERTISING

Dikutip dari Buku "Public Relations Writing: Teknik Produksi Media PR dan Publisitas Media", Penulis: Rachmat Kriyantono, Penerbit: Prenada Jakarta, Cetakan ke-2, 2009.


             Saat ini tidak sedikit perusahaan yang mengadaptasi prinsip “biarkan orang lain bercerita” ini dalam strategi periklanan. Strategi kreatif iklannya menggunakan konsep bercerita. Ini kita jumpai dalam iklan “advertorial”, “testimoni”, dan iklan “adlib” di radio. Iklan testimoni adalah iklan yang menampilkan seseorang yang bercerita –biasanya artis terkenal- tentang pengalamannya mengkonsumsi produk yang diiklankan. Iklan advertorial (advertising-editoria/informasil) adalah iklan yang berbentuk cerita seperti berita pada umumnya. Bedanya adalah perusahaan harus membayar untuk dimuat. Biasanya di bagian akhir ditandai kata “advertorial atau adv”.
            Dari sisi marketing, jenis iklan tersebut cukup efektif. Karena dikemas dalam bentuk berita, seakan-akan informasi yang diiklankan berasal dari media. Sehingga memengaruhi kepercayaan khalayak. Selain itu, iklan ini bisa lebih terperinci menjelaskan produk. Ini strategi Public relations (marketing) untuk ”memperhalus” iklan agar tidak terkesan menjual produk. Tetapi di sisi lain, khalayak sulit untuk membedakan advertorial yang membayar dengan publisitas yang gratis. Yang tahu hanya antara Public relations (marketing) dan media.
                        Namun demikian, fenomena ini tidak sedikit menimbulkan kerancuan. Sekarang sulit membedakan mana berita yang murni berita dengan berita yang hasil pesanan perusahaan (dibayar). Seharusnya media harus jujur membedakan mana berita, opini, dan niaga (iklan). Ini adalah hak konsumen. Bila itu iklan advertorial seharusnya dimuat di halaman yang khusus advertorial (nama lainnya bisa pariwara). Advertorial adalah singkatan advertising editorial, artinya iklan yang dikemas dalam bentuk berita. Memang tidak semua media melakukannya. Ada media yang menyediakan halaman khusus untuk iklan bernama halaman/rubrik “advertorial/pariwara”. Ada yang hanya menulis (advertorial) di bagian akhir sebuah berita, jika di TV dengan menampilkan tulisan advertorial pada tayangan beritanya. Namun ada juga media yang tidak melakukan itu, sehingga sulit membedakan antara berita itu sebagai berita biasa atau berita itu sebagai iklan (advertorial).Jika tidak maka akan muncul fenomena “iklan tersembunyi” (hidden advertising), seperti berita namun sebenarnya iklan. Hidden advertising adalah iklan yang disamarkan seperti berita. 
Hal ini terjadi pula pada iklan adlib (iklan yang diucapkan langsung oleh penyiar radio). Penyiar radio lebih banyak mengemas iklan ini sebagai informasi bukan iklan. Contohnya ada penyiar yang mengatakan:

“…….. pendengar anda masih bersama saya Rahmat Utomo di acara Jalan-Jalan Kota Radio Jaya. Terima kasih pada Bpk Bejo yang sudah ngasih info tentang kondisi jalan Raya Kendangsari… yang macet merambat sampai jam 5 ini. Buat pendengar lain yang ingin gabung memberi informasi… tahan sebentar…. Saya ingin mengajak anda bergeser dulu ke materi informasi lainnya… //Pendengar sebentar lagi akan muncul musim hujan. Biasanya ada banyak masalah, salah satunya atap bocor. Kini anda jangan khawatir karena ada genteng rumah anti bocor merk Sentosa// Pendengar, genteng Sentosa ini terbuat dari bahan berkualitas dan murah. Silahkan hubungi toko Rina, telpon 73435553……”