Monday, August 16, 2010

APA HUBUNGAN PAKAIAN DAN OTAK?


Pernah mahasiswa saya mengeluh, “kuliah kok aneh-aneh, mesti pakai baju rapi dan bersepatu”. Lalu dia menambahkan, “apa hubungannya dengan kepandaian seseorang?; apa ada hubungan antara baju rapi dengan otak?” Hal ini membuat saya teringat beberapa waktu lalu, saat saya masih kuliah. Di kampus tertempel gambar “sandal dicoret” di pintu depan fakultas. Beberapa dosen melarang mahasiswa yang menggunakan kaos oblong (tidak berkerah) dan mahasiswa yang memakai sandal untuk masuk ruang kuliah. Sempat beberapa kali mahasiswa melakukan unjuk rasa menentang aturan itu. Tapi, “kuasa dosen” seakan-akan menjadi representasi “kuasa Tuhan” di kelas. Dalam realita, banyak mahasiswa yang menuruti aturan itu –memakai kemeja atau kaos berkerah dan bersepatu. Meski pun terkadang masih jauh untuk dibilang rapi (definisi rapi pun bersifat relatif), memang pakai sepatu, tapi bagian belakangnya diinjak tumit, memakai kemeja dimasukkan di celana jean yang bolong dan lainnya.
Di tulisan ini saya tidak menyalahkan dosen atau pun mahasiswa. Mahasiswa merasa punya a right to chose (maklum anak muda), tapi dosen, seperti yang saya sebutkan, punya “kuasa dosen”. Sebenarnya, kedua hal ini mesti sejalan. Perkuliahan adalah proses transfer ilmu, yang bisa berjalan baik bila kedua pihak terjadi komunikasi dua arah, dan terjadi kontak yang seimbang dalam konteks transfer ilmu. Situasi ini dimungkinkan bila si dosen menyampaikan alasan2 di balik aturan2 yang dilakukannya secara logis akademik, bukan karena ego “kuasa dosen”. Terjadilah dialog yang resiprokal.
Kembali kepada keluhan mahasiswa saya di atas, saya ingin menyampaikan sedikit perspektif untuk mencoba memahami aturan itu. Perspektif ini saya mulai dengan menjawab pertanyaan si mahasiswa: “apakah ada hubungan antara baju rapi dengan otak?” Jawaban saya: “Tidak ada hubungannya”, karena itu “jangan dihubung-hubungkan.” Saya cenderung melihat bahwa hal ini terjadi lebih karena cultural contextual. Faktor budaya kita. Di budaya barat, Australia misalnya, lebih “santai, easy-going”. Mahasiswa dan bahkan dosen –apalagi di musim panas- boleh2 saja pakai kaos oblong , celana pendek dan bersandal. Pertanyaannya, apakah perlu budaya kita dihilangkan? Klo perlu, sudah siapkah sikap mental masyarakat kita? Apa urgensinya? Budaya muncul dan dipertahankan karena dianggap sesuai untuk dapat memudahkan kehidupan. Lha, di sini terjadi cultural lag, terjadi perbedaan referensi budaya antara mhs dan dosen. Dosen dengan referensi budaya mainstream di masyarakat, sedangkan mhs dg referensi budaya alternatif (bisa bersumber dari mana pun, misalnya dari budaya barat)
Budaya, jelas, memengaruhi segala aspek kehidupan, termasuk penjelasan dan aplikasi teoritis. Dalam perspektif teoritis, budaya masyarakat kita masih cenderung menganggap penampilan fisik sebagai hal yang penting. Budaya Jawa, misalnya, bilang “ajine rogo soko busono” (badan dihargai karena baju yang dikenakan). Setidaknya, ada beberapa perspektif yang saya tawarkan di tulisan ini, yang semuanya bersifat cultural contextual:
1.       Komunikasi bersifat kontekstual. Artinya, perilaku komunikasi sangat dipengaruhi oleh dimensi-dimensi waktu, fisik, sosiologis, dan psikologi. Berpakaian adalah berkomunikasi. Pakaian adalah seperangkat symbol yang mengandung makna bagi orang lain. Misalnya, dimensi waktu: pakaian musim panas tentu beda dengan musim dingin; dimensi fisik: pakaian di ruang kuliah tentu berbeda dengan di tempat tidur; dimensi sosiologis: berpakaian di depan bos (apalagi sedang wawancara pekerjaan) tentu berbeda dengan di depan teman sekampung; dimensi psikologis: berpakaian di saat melayat tentu berbeda saat pesta ulang tahun. Makna symbol tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis2 dimensinya. Berpakaian hitam-hitam saat melayat disimbolkan turut berduka. Tapi, apa makna dari symbol pakaian merah-merah menyala? Tentu beda.
2.       We can’t not communicate. Apa pun yang kita lakukan, kita kenakan, kita omongkan, kita tidak lakukan, kita diam, bahkan ketika tidur pun berpotensi menimbulkan makna bagi orang lain, sengaja atau tidak kita sengaja, disadari atau tidak kita sadari. Kita adalah makhluk bersimbol. Bahkan ada yang menyebut hewan bersimbol (animal symbolicum), karena Simbol lah yang membedakan kita dengan hewan. Simbol dibentuk dan dimaknai oleh pikiran. Dalam perspekstif ini, mahasiswa yang berpakaian rapi mengandung makna berbeda dengan yang berpakain seadanya (kaos oblong). Secara umum, budaya kita menganggap pakaian rapi sebagai symbol “kesungguhan diri, menghormati orang lain bahkan juga status sosial”.
3.       You are PR on your self. Everybody is a PR. Dalam perspektif public relations (PR), dikenal dua macam pendekatan: PR sebagai metode dan PR sebagai teknik komunikasi. PR sebagai metode berarti kegiatan mengkomunikasikan perusahaan/individu dilakukan secara terorganisasi dan terstruktur. Sedangkan PR sebagai teknik komunikasi, berarti kegiatan mengkomunikasikan perusahaan/individu dilakukan oleh individu2 di dalam perusahaan/individu2 itu sendiri. Jadi, setiap orang adalah PR bagi dirinya sendiri. Orang berpakaian rapi memPR kan bahwa dia “sungguh2, mempunyai konsep diri yang positif, menghargai orang”. Siapa diri anda di PR kan dari symbol pakaian anda.
4.       Teori Hallo Effect. Teori komunikasi ini (berasal dari rumpun psikologi) berasumsi bahwa orang cenderung melihat perilaku orang lain berdasarkan simbol2 tertentu yang melekat pada orang lain tersebut. Ada semacam primary effect of behavior. Contoh: di sebuah masjid, seseorang kehilangan sandal. Di situ ada dua orang, yang satu memakai jas, berdasi dan bersepatu, yang lainnya berpakaian lusuh tak bersepatu. Mana kira2 yang dituduh?
Sekali lagi perspektif yang saya tawarkan bersifat cultural contextual. Perlu dibuktikan secara empiris, apakah konteks2 budaya yang melandasi perspektif2 di atas bersifat universal atau lokalitas di masyarakat kita saja, misalnya masyarakat Jawa (salah satunya budaya feodal). Budaya adalah kharakter bangsa. Selama budaya itu dianggap baik dan membantu memudahkan kehidupan, maka nilai2 budaya itu masih dipertahankan. Jadi, pertanyaannya: “Apakah nilai2 budaya kita itu perlu diubah? Kalau diubah, seberapa besar urgensinya? Siapkah masyarakat kita akan perubahan itu?”
Jadi, selama mainstream budaya kita adalah "ajine rogo soko busono" maka mahasiswa mesti berpakaian rapi. rapi diartikan dg kemeja, kaos berkerah dan bersepatu. Terlepas dari segala uraian di atas, saya berpikir bahwa memakai kemeja, kaos berkerah dan bersepatu itu gampang kok. Rapi tidak harus mewah bukan? 

No comments:

Post a Comment