Wednesday, March 9, 2011

INFOTAINMENT & CELEBRITY PUBLIC RELATIONS


Oleh: Rachmat Kriyantono
          Tulisan ini mengkritisi semaraknya program infotainment di TV dan kaitannya yang sering dijadikan lahan bagi para celebrity PR untuk beraksi.Dari pengalaman saya, Australia –yang katanya negara ”bebas”- ternyata tidak ”sebebas” Indonesia dalam tayangan selebrity di TV. Di negeri Kangguru ini, acara ”infotainment”nya sering menjadi salah satu bagian dari suatu program berita, yang durasinya sendiri hanya 5 menitan.
            Aktivitas public relations bisa menerapkan model Press-Agentry. Ini adalah model tertua dari Public relations. Selain itu, ada model public information dan two way asymmetric dan symmetric. Press agentry berarti proses diseminasi informasi bergerak satu arah (one-way communication) dari organisasi kepada publiknya. Public relations lebih banyak melakukan propaganda atau kampanye untuk tujuan publisitas media yang menguntungkan pihaknya. Pada dasarnya press-agentry ini adalah kegiatan publisitas, yaitu upaya meraih perhatian dan liputan media.    Grunig dan Hunt (1984) membangun model ini berdasarkan pengalaman dari P.T. Barnum, pemilik dari kelompok sirkus, the American Circus. Kelompok ini memperoleh pemberitaan besar-besaran dari media sebagai ”the greatest show in the earth” akibat strategi Barnum yang menampilkan perkawinan dua bintang sirkus terkenal dalam suatu pertunjukan. Inilah yang disebut ”pseudo-event”, sebuah event yang dirancang hanya untuk meraih publisitas.  Karena itu, dituntut kemampuan praktisi Public relations memanage event yang mengandung nilai berita bagi media.
            Namun dalam praktik, model ini sering disalahgunakan sebagai upaya meraih publisitas media dilakukan dengan berbagai cara. Terkadang ”pesudo-event” yang dibuat mengabaikan kebenaran informasi sebagai upaya menutupi unsur-unsur negatif perusahaan atau individu. Masalah etika komunikasi sering terlupakan. Tidak mengherankan jika model Public relations  ini sangat sering ditemui di dunia showbiz ketika individu-individu dipromosikan lewat pemberitaan berita, yang disebut Fawkes (2005:12) sebagai ”celebrity PR.” Sering terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara pekerja media dan si artis untuk menampilkan berita-berita tentang sepak terjang si artis. Kalau ini terjadi, maka telah terjadi pergeseran fungsi publisitas ke periklanan tersembunyi (hidden advertisisng) (Kriyantono, 2009). 
Beberapa tahun terakhir, tayangan infotainment membanjiri program TV kita. Jumlah tayangan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat tahun 2002 mencatat frekuensi tayangan infotainment hanya sebanyak 24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta di Tanah Air. Tahun 2003, jumlah itu melonjak menjadi empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu (14 episode per hari). Tahun 2004, frekuensi pun kian bertambah menjadi 151 episode per minggu (22 episode per hari), dan tahun 2005 penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu (26 episode per hari). Pada Januari-Agustus 2007, Agus Maladi Irianto mencatat penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 210 episode per minggu atau sekitar 15 jam sehari (http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0801/04/humaniora/4124555.htm).  Banyaknya jumlah tayangan infotainment, diiringi pula dengan banyaknya jumlah pengaduan. Tayangan infotainment di televisi selama tahun 2010 menempati urutan pertama dengan 24 persen dari seluruh pengaduan publik ke KPI (http://www.kpi.go.id, 18 Jan 2011).
Riset S3 yang dilakukan oleh Agus Maladi Irianto  pada berita di kompas.com di atas menyimpulkan bahwa tayangan infotainment terlalu berlebihan. Proses produksi infotainment tidak sepenuhnya mengikuti etika jurnalistik dan kerap dimotori keinginan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Nilai jurnalistik lebih mengedepankan fungsi bisnis daripada fakta.
Menurut Sony Adi Setyawan, praktisi media dalam diskusi publik di KPID Jogja: 75% produk infotainment dikerjakan outsource. Divisi infotainment berada di bawah divisi produksi (Tidak di bawah redaksi pemberitaan). Production House (PH) pembuat infotainment bukan perusahaan penerbitan pers. Hanya PWI yang mengakui infotainment TV sebagai produk jurnalisme. AJI menganggap Infotainment bukan bagian dari produk jurnalisme. Pada kenyataannya isi infotainment sebagian besar digunakan untuk mengangkat nilai kontroversial artis (Perselingkuhan, masa lalu yang suram, perceraian, kejahatan, pengadilan, pertengkaran. Rata-rata pekerja infotainment, menurut Sony, mempunyai penghasilan minim. Terjadi kerja sama saling menguntungkan antara artis, produser, pelaku bisnis, dan PH. Kadang terjadi tayangan infotainment yang dibungkus promosi produk, launching musik, film, artis band terbaru hingga acara jalan-jalan ke luar negeri melihat syuting video klip artis local tertentu yang mengajak pekerja infotainment untuk meliputnya. Dari sini terdapat pemasukan PH infotainment di luar transaksi jual beli dengan stasiun TV. Infotainment sejatinya adalah perkara bisnis. Jika ada promosi yang bisa mendukung pembuatan infotainment atau jika ada artis yang punya dana berlebih untuk mengangkat citranya, silahkan menghubungi infotainment. Untuk lebih menarik, ditambah bumbu-bumbu ala sinetron. Dari sekedar masalah percintaan, narsisme, perselingkuhan hingga kasus-kasus yang dibuat-buat untuk sekedar dijadikan tayangan yang menarik. Contohnya, menurut Sony, ketika terjadi strategi promosi film yang dibintangi Syaiful Jamil dan Kiki Fatmala. Terjadi kehebohan saat Kiki menuntut Syaiful karena pelecahan pada saat syuting. Padahal, di belakang hari ketahuan jika semuanya hanya rekayasa. Tapi, masih ada tayangan infotainment yang mengedepankan prinsip jurnalisme   (http://www.kpiddiy.com/home.php?cat=news&act=detail&id=48, di akses 26 Pebruari 2011).


Refferensi:
Fawkes (2005) dalam Heath, Robert L. (Ed). Encyclopedia of public relations. California: Sage Publications, Inc.
 Grunig, J., & Hunt, T. (1984). Managing Public Relations. New York: Holt, Rinehart & Winston.
 Kriyantono, R. (2009). Public relations writing: Teknik produksi media public relations dan publisitas media (2 ed.). Jakarta: Prenada Media.