Thursday, October 6, 2011


HIDDEN ADVERTISING : KEBIRI HAK INFORMASI PUBLIK DAN DAYA KRITIS MEDIA
Dimuat di Jurnal Dinamika HAM Vol. 11 No. 1, 2011
Penulis: Rachmat Kriyantono[1]


Abstract:

Public has the rights to gain information. Conducting the responsibility to fullfill the public’s rights to know, a professional media is absolutely needed. The professional media is a media which has an ability to provide information that supports its functions: as the information provider, to educate, and to control the society (watchdog). As a consequence, when constructing a reality as a news, the media is demanded to be idealist, independent, and critical. Recently, however, the critical sense of the media seems to be ”emasculated” by the increasing of hidden advertising phenomenon. This phenomenon causes the freedom of the press is distorted by the media practitioners. As a result, the public’s right to obtain information is also reduced.

Kata-kata kunci: Hidden advertising, hak informasi publik, kritis, media                 


Latar Belakang
Sejak era reformasi, Indonesia mengalami “booming” media, baik cetak maupun elektronik. Kita hidup dalam era industri media. Setiap detik, rumah kita tiada henti disuguhi produk-produk informasi dari media. Informasi menjadi ”sarapan pertama” di pagi hari dan ”menu terakhir” menjelang tidur. Setiap hari, misalnya, kita disuguhi berbagai tayangan televisi dari puluhan televisi. Munculnya UU Penyiaran no 32 tahun 2002, sebagai produk reformasi, menyebabkan langit pertelevisian kita semakin beragam. Televisi-televisi “lokal” dan komunitas juga tampak bagaikan jamur.
Hal tersebut juga berlaku untuk media lainnya, seperti surat kabar, radio, dan majalah. Untuk media cetak telah terjadi booming yang cukup besar, dengan kemudahan mendirikan penerbitan dan dihapuskannya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Menurut catatan Jacob Oetama, sejak era reformasi jumlah penerbitan media cetak bertambah hingga mencapai 2.000. Kini, hanya tersisa 695 penerbit. Jumlah itu masih lebih banyak dari era Orde Baru yang berjumlah 289 penerbit (Amri, 2010).
Perkembangan media memudahkan masyarakat memperoleh informasi dan mendorong demokratisasi. Di sisi lain, keberadaan media tidak lepas dari kepentingan komersialisasi ekonomi. Media menjadi produsen yang menghasilkan produk untuk ditawarkan pada audiens sebagai pasarnya. Artinya, eksistensi media juga bergerak dengan logika ekonomi dan pasar. Kepentingan komersial media inilah yang seringkali akan berada dalam kondisi ”semrawut” dengan fungsi idealnya; menjadi jendela informasi dan sumber data bagi masyarakat. Bahkan dalam suatu kondisi ekstrem, manakala kepentingan komersial ini lebih dominan, media tidak lebih berfungsi hanya sebagai sarana perpanjangan tangan kelompok tertentu untuk mencetak keuntungan sebesar-besarnya.
Kemerdekaan pers telah memberikan kebebasan bagi media untuk lebih kritis dan mudah mencari dan menyebarkan informasi tanpa takut rambu-rambu penguasa dengan semangat memenuhi hak publik akan informasi. Tetapi, komersialisasi isi media membuat media ”kebablasan” dalam mencari, memformat dan menyebarkan informasi, antara lain dengan mencampur informasi dengan pesan-pesan bisnis, yang sebenarnya justru mengebiri dan mereduksi daya kritis serta hak publik tersebut.
            Hidden advertising (iklan tersembunyi) adalah fenomena tercampurnya produk media, khususnya berita, dengan kepentingan sponsor (bisa organisasi, perusahaan atau individu). Isi berita bukan lagi bersifat objektif tentang peristiwa di masyarakat, tetapi sekedar menceritakan kepentingan sponsor. Berita dibuat atas pesanan sponsor tertentu. Ini dimungkinkan terjadi karena media menerima kompensasi tertentu dari pemesan berita. Sering ditemui berita-berita yang diragukan independensinya, seperti berita tentang launching produk, berita acara wisuda suatu kampus, berita sepak terjang calon kepala daerah, dan masih banyak lagi.

Tujuan dan Lingkup Tulisan
            Tulisan ini bertujuan menyebarkan gagasan penulis untuk membuka diskursus  bahwa ada ancaman terhadap daya kristis media sekaligus ancaman bagi hak-hak publik untuk memperoleh informasi yang berasal dari kesalahan praktik jurnalistik itu sendiri. Tulisan ini tidak menuduh telah terjadi ”transaksi” dalam semua proses membuat berita, tetapi mengingatkan bahwa fenomena hidden advertising berpeluang terjadi bila publik sulit membedakan mana berita, opini, dan niaga. Sering terjadi penyelewengan tugas jurnalistik, yaitu praktik periklanan yang berkedok praktik publisitas. Tulisan ini sebagai upaya sosialisasi media literacy (melek media) kepada publik agar menjadi konsumen yang berdaya dan sadar akan hak-haknya sebagai konsumen media.

Distorsi Kebebasan Pers
            Hakikat kebebasan pers adalah kebebasan yang dimiliki pers (media) untuk melaksanakan tanggung jawabnya memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. Kemerdekaan pers, menurut UU no 40/1999, merupakan wujud kedaulatan rakyat. Agar media dapat melaksanakan amanat tersebut, maka diperlukan media yang profesional, yaitu yang berorientasi pada penyajian informasi yang benar, fokus pada kepentingan masyarakat, independen terhadap sumber berita serta disiplin dalam memverifikasi kualitas informasi. Mengapa perlu kebebasan pers? Pertama, hak memperoleh informasi adalah hak asasi setiap individu sebagai alat adaptasi dengan lingkungannya, dan karenanya kebebasan pers merupakan hak asasi warga negara (UU no 32/2002). Karena individu-individu mempunyai keterbatasan indera untuk memperoleh informasi, maka mereka mengamanatkan media untuk membantu. Kedua, media mempunyai power. Karena kemampuannya dalam diseminasi pesan secara serentak, repetisi, dan simultan, media mempunyai kekuatan dalam membentuk opini dan bahkan sebagai penentu kebenaran. Power ini yang membuat media menciptakan “global village” atau kampung global, yaitu menjadi jembatan globalisasi dan menipiskan batas-batas jarak maupun ruang antara wilayah yang disebut negara. Ketiga, dengan kemampuan tersebut, media mampu mewakili masyarakat sebagai alat kontrol (watchdog) bagi kekuasaan. Media pun menjadi salah satu pilar demokratisasi. Faktor-faktor inilah yang menjadi daya tarik pihak-pihak yang juga mempunyai power (dapat berupa kekuasaan politik, bisnis atau pekerja media itu sendiri) untuk memengaruhi bahkan “menyetir” media dalam mengonstruksi kebenaran. Foucault mengatakan “power and knowledge cannot be divided. Power is a creative force that pervades all human activity” (Littlejohn & Foss, 2008:221).
            Ketika pihak-pihak tertentu “ikut campur” dalam tugas penyediaan informasi yang diemban media sehingga memengaruhi isi informasi, maka distorsi kebebasan pers merupakan keniscayaan. Dalam catatan panjang praktik media di Indonesia, terjadi beberapa distorsi. (1) Distorsi kekuasaan. Distorsi ini berasal dari birokrasi pemerintahan, baik berupa regulasi formal dan perilaku birokrat, sipil atau militer. Distorsi ini terutama sering terjadi pada era Orde Baru. Misalnya, Peraturan Menteri Penerangan no 1/1984 yang mengatur pencabutan SIUPP, padahal UU Pokok Pers waktu itu (no 22/1982) dengan tegas mengatakan “terhadap pers nasional tidak dikenal pembredelan (penghentian penyiaran/penerbitan/peredaran secara paksa)”. Logika nalar mengatakan pencabutan SIUPP ya sama dengan bredel, sama-sama tidak dapat beroperasi lagi. (2) Distorsi pemilik bisnis. Distorsi ini terjadi, jika pemilik modal maupun kekuatan ekonomi lainnya mampu memengaruhi proses produksi informasi. (3) Distorsi masyarakat, yaitu ketika aksi-aksi masyarakat mengancam kebebasan media, seperti aksi anarkis menyerbu kantor-kantor surat kabar karena tidak setuju dengan pemberitaan media tersebut. (4) Distorsi pekerja media, yaitu ketika pekerja media tidak dapat menjaga profesionalitasnya dalam menulis berita, sehingga menghasilkan distorsi informasi. Fenomena hidden advertising merupakan contoh distorsi bisnis dan pekerja media.

Simbiosis Mutualisme
            Memang terjadi simbiosis-mutualisme antara pebisnis dan media. Bagi pebisnis, ini adalah strategi pemasaran (baca: beriklan) yang tepat. Tidak sedikit perusahaan yang mengadaptasi prinsip “biarkan orang lain bercerita” (word of mouth communication/komunikasi gethok tular) dalam strategi periklanan. Strategi kreatif iklannya menggunakan konsep bercerita, di mana seakan-akan orang lain -bisa media atau public figure- yang bercerita tentang keunggulan produk. Strategi ini kita jumpai dalam iklan “advertorial”, “testimoni”, dan iklan “adlib” di radio. Iklan testimoni adalah iklan yang menampilkan seseorang yang bercerita (mengendorse) tentang pengalamannya mengonsumsi produk yang diiklankan. Iklan advertorial (advertising-editoria/informasil) adalah iklan yang dikemas dalam bentuk cerita seperti berita pada umumnya. Biasanya di bagian akhir ditandai kata “advertorial atau adv” (Lihat gambar 1).

Gambar 1. Contoh Iklan yang ditulis dengan format berita (advertorial)

           
            Strategi ini dimaksudkan untuk mengatasi rendahnya kredibilitas iklan di tengah-tengah banjir iklan. Ini karena publik memandang iklan: pertama, bersifat  menjual,  biasanya orang-orang  cenderung bertahan bila diterpa pesan-pesan menjual. Karena sifat iklan adalah persuasif, yaitu memengaruhi orang untuk melakukan pembelian. Kedua, anti-detail, iklan tidak bisa menjelaskan produk secara lengkap, karena keterbatasan waktu atau ruang. Mengingat biaya iklan sangat tinggi, biasanya iklan di TV dan radio berdurasi 30 detik. Karenanya iklan singkat. Padahal ketika kita memutuskan membeli produk –khususnya yang berisiko tinggi, seperti komputer, rumah, mobil- kita dituntut melibatkan diri secara penuh untuk mencari informasi detail tentang produk (high involvement). Ketiga, iklan tidak dapat menjelaskan cacat produk, baik itu cacat pada produknya atau image yang jatuh  (Kriyantono, 2009: 61).
            Periklanan yang bersifat ”one to mass” (satu arah dan nonpersonal), sulit memengaruhi orang secara personal. Konsep ”bercerita lewat orang lain” merupakan bentuk nyata strategi pemasaran tradisional, yaitu gethok-tular dari mulut ke mulut. Strategi ini sekarang dikembangkan lagi dalam pemasaran modern. Kertajaya menyebutnya sebagai viral marketing (Kertajaya, 2006:65). Dengan alasan memadukan prinsip gethok tular di atas, iklan sering ”disamarkan” atau ”diperhalus” seakan-akan menjadi informasi/berita biasa dan sifat iklannya ”hilang”. Tetapi di sisi lain, khalayak sulit untuk membedakan advertorial yang membayar dengan publisitas yang gratis. Di bawah ini disampaikan sebagian contoh-contohnya:

Contoh Hidden Advertising
         Bagian ini mendeskripsikan sebagian contoh kasus hidden advertising. Pertama, di sebuah tayangan infotainment salah satu TV swasta. Host acara mengisahkan kehidupan seorang artis. Mulanya berjalan seperti kisah artis-artis lainnya, seperti kabar tentang pembuatan sinetron dan album nyanyi si artis, hingga pada akhirnya mengisahkan kehidupan sehari-hari si artis. Ketika mengupas kehidupan sehari-hari ini, dikisahkan bagaimana si artis menggunakan produk vitamin X untuk menunjang vitalitasnya. Belum cukup dengan kisah si host, si artis pun bercerita secara langsung tentang kebiasaannya minum vitamin X dan manfaatnya untuk mendukung aktivitasnya yang super sibuk. Sekilas kisah ini hanya bercerita tentang artis, tapi kalau dicermati, ada informasi tentang produk yang diendorse si artis.
         Kedua, pernah seorang wartawan sebuah koran di Surabaya mendatangi salah satu teman penulis. Saat itu, teman penulis adalah panitia publikasi acara wisuda di suatu kampus. Setelah memperkenalkan diri, dia menawari menyediakan kolom khusus untuk menulis berita tentang acara tersebut. Tidak tanggung-tanggung dalam dua edisi. Menurut si wartawan, teman penulis hanya diminta kompensasi pemuatan sebesar satu juta rupiah. Tak heran jika berita-berita tentang kampus teman tersebut muncul dalam dua edisi berturut-turut di koran itu.
         Ketiga, pernahkah anda mendengar suara penyiar di radio seperti contoh berikut?:

“…….. pendengar anda masih bersama saya Rahmat Utomo di acara Kota Pagi Radio Jaya. Terima kasih pada Bpk Bejo yang sudah ngasih info tentang kondisi jalan Raya Kendangsari… yang macet merambat sampai jam 5 ini. Buat pendengar lain yang ingin gabung memberi informasi… tahan sebentar…. Saya ingin mengajak anda bergeser dulu ke materi informasi lainnya… //Pendengar sebentar lagi akan muncul musim hujan. Biasanya ada banyak masalah, salah satunya atap bocor. Kini anda jangan khawatir karena ada genteng rumah anti bocor merk Sentosa// Pendengar, genteng Sentosa ini terbuat dari bahan berkualitas dan murah. Silahkan hubungi toko Rina, telpon 73435553……”
        
            Penyiar di atas tidak menggunakan kata iklan (seharusnya itu adalah iklan adlib, iklan yang diomongkan langsung oleh penyiar), tapi menggunakan kata ”informasi lainnya”. Artinya, ”informasi lainnya” tersebut setara dengan informasi yang datangnya dari Bapak Bejo tentang kemacetan.[2] Sementara gambar 2, adalah ”berita” yang masih diragukan apakah benar-benar berita atau iklan berbentuk berita. Yang tahu hanya si pembuat berita (media) dan perusahaan.

Gambar 2. Contoh Hidden Advertising. Muncul pertanyaan: “Ini murni berita (publisitas) atau iklan?” Yang tahu hanya media dan perusahaan (bisa marketing atau public relations-nya). Jika iklan, maka seharusnya ditulis “adv”.

         

Berita, Publisitas, dan Iklan
            Baik media dan perusahaan ”mesti jujur". Simbiosis mutualisme yang terjadi jangan sampai menghilangkan kejujuran kepada publik. Dalam konteks hak publik akan informasi, publik juga mempunyai hak agar ruang (space) dan waktu (time) di media digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan publik. Sering publik sulit membedakan mana berita yang murni berita dengan iklan yang berbentuk berita. Isi media adalah informasi, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga: berita, opini, dan niaga. Menurut penulis, kita perlu membedakan antara informasi dan berita. Informasi, menurut Wilbur Schramm, adalah sesuatu yang dapat mengurangi ketidakpastian akan sesuatu (Sendjaja, 1998). Karena itu, tidak semua informasi adalah berita. Iklan, artikel opini, dan cerpen, misalnya, adalah informasi, karena publik terbantu akan informasi di dalamnya. Informasi bisa disebut berita bila memenuhi kriteria-kriteria: informasinya mesti objektif (objektivitas berita dibahas di bagian lain tulisan ini), narasumber kredibel, dan mempunyai nilai berita.
            Mengacu pada pasal 6 UU Pers no 40/1999, pembagian yang jelas antara ketiga kategori isi media di atas adalah termasuk hak publik untuk mengetahui. Bila itu iklan advertorial seharusnya ditulis kata ”advertorial atau adv” di bagian akhir berita. Bisa juga pemuatannya di halaman yang khusus advertorial (nama lainnya bisa pariwara). Jika tidak, maka akan muncul fenomena “iklan tersembunyi” (hidden advertising), seperti berita namun sebenarnya iklan. Hidden advertising adalah iklan yang disamarkan seperti berita. Perlu digaris bawahi, beriklan adalah membeli space dan time yang disediakan media. Isi iklan benar-benar ditentukan pengiklan. Perlu dibedakan antara iklan dan publisitas. Publisitas bersifat “free-charge” meski menggunakan space dan time media. Publisitas adalah “benar-benar berita” yang dibuat media meski salah satu sumber beritanya adalah press-release atau konperensi pers dari suatu perusahaan.
            Bagi media (tepatnya oknum media), ini adalah ”jalan pintas” memperoleh tambahan penghasilan. Penghasilan wartawan banyak yang belum layak. Karena itu tidak sedikit yang mengambil jalan pintas, meski dengan mengorbankan idealisme. Hal ini diperkuat data Dewan Pers bahwa sejak reformasi hanya sekitar 30% perusahaan penerbitan yang sehat secara finansial. Ini tentu mengkhawatirkan terjadinya praktik media yang kurang sehat. Tidak heran masih banyak ditemui pelanggaran Kode Etik Jurnalistik pasal 6 tentang penyalahgunaan profesi media, seperti menerima suap dan menulis berita hanya berfungsi sebagai sarana ”dagang merk” tertentu.
           
Kebiri Hak Informasi Publik dan Daya Kritis Media
            Apapun alasannya, fenomena hidden advertising harus dihentikan. Dari sisi jurnalistik, semakin banyak berita yang dibuat karena pesan sponsor membuat berita itu melenceng dari prinsip dasar objektivitas berita. Mengacu pada Westerthal (McQuail, 2010) objektivitas mensyaratkan berita bersifat faktual, akurat (truth), informatif, berimbang dan netral. Prinsip objektivitas akan menghasilkan penulisan berita yang ”apa adanya”. Tidak boleh dibumbuhi dengan opini pribadi dan tidak memihak siapa pun. Publik berhak memeroleh berita yang seobjektif mungkin yang berkaitan dengan kepentingan mereka.
          Hidden advertising adalah wujud nyata distorsi bisnis dan distorsi pekerja media yang mengancam kebebasan pers. Daya kritis media pun ”dikebiri” oleh pekerja media sendiri. Media harus membuat berita ”yang manis-manis” saja menyangkut kepentingan sumber berita. Tercampurnya kepentingan bisnis dalam kegiatan jurnalistik membuat fungsi kontrol media berjalan di tempat.
          Padahal agar dapat memenuhi fungsi sosialnya seperti pengawasan, radar sosial, edukasi dan sosialisasi, hiburan maupun fungsi interpretif, media harus diberi kebebasan menuangkan ide dan gagasan dalam penulisan beritanya. Media harus kritis dalam menceritakan peristiwa sehingga laporannya bersifat komprehensif.
          Daya kritis ini yang membuat media dibutuhkan masyarakat. Daya kritis inilah yang membuat media mampu menjadi pilar keempat demokrasi yang menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan rakyat. Media harusnya tetap bangga dan selalu menjaga kemurnian tanggung jawab profesinya. Profesi yang membuat seorang Napoleon Bonaparte mengatakan, ”saya lebih takut tajamnya pena ketimbang ribuan pasukan”
          Media adalah kepanjangan tangan masyarakat untuk memperoleh informasi. Hak publik ini dijamin dalam UUD 1945 yang berbunyi setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Informasi yang dibutuhkan masyarakat untuk membantu menginterpretasi peristiwa-peristiwa kehidupan yang berkaitan dengan kepentingan umum (pasal 6 bagian d UU 40/1999). Bukan menyediakan informasi yang sekedar ”menjual dagangan” kelompok kepentingan tertentu.  
            Media jangan takut kehilangan sumber penghasilan. Pelaku media seharusnya tetap berkeyakinan bahwa informasi yang berkualitas adalah produk media yang mampu memikat publik. Semakin banyak konsumen media akan merangsang pengiklan masuk, dan berkorelasi pada meningkatnya penghasilan perusahaan media tersebut. Dengan kata lain, upaya meningkatkan penghasilan seharusnya dengan menjual produk media yang berkualitas, bukan dengan mengorbankan idealisme. Ini sesuai penjelasan ayat 2 pasal 3 UU 40/1999 yang menekankan bahwa perusahaan media dikelola sesuai prinsip ekonomi, agar kualitas media dan kesejahteraan wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. UU Penyiaran 32/2002 pasal 4 juga menegaskan fungsi ekonomi tetapi tetap mengedepankan pemberian informasi yang benar, seimbang dan bertanggung jawab (pasal 5). 

Penutup
            Publik mesti menyadari bahwa hidden advertising sebenarnya mereduksi hak mereka untuk memperoleh informasi yang berkualitas. Publik –sebagai pemberi amanat- mesti kritis. Jika menemukan suatu berita yang dinilai memuat periklanan terselubung, mereka bisa memrotesnya atau mengajukan keberatan melalui ombudsman atau bahkan ke Dewan Pers. Publik perlu diberdayakan untuk dapat membedakan mana isi media yang berita, opini atau niaga. Dengan mencampur ketiganya berarti mengebiri hak-hak informasi yang dimiliki publik.



Daftar Pustaka:
Amri, Choir., “Kekurangan dan Kelebihan Media” (http:// wordpress.com/2010/05/06/kekurangan-dan-kelebihan-media, diakses pada 3 Peb 2010)
Kertajaya, Hermawan., Marketing Mix (Bandung: Mizan Pustaka, 2006).
Kriyantono, Rachmat., Public Relations Writing (Jakarta: Prenada Media Group, 2009).
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A., Theories of Human Communication (California: Thompson Wadsworth, 2008).
McQuail, Dennis., Mass Communication Theory (California: Sage Publications, 2010).
Sendjaja, S.D., Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Universitas Terbuka, 1998).




[1] Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya Malang dan kandidat Doktor di School of Communication, Edith Cowan University, Australia.
[2] Saya pernah wawancara dengan seorang praktisi senior sebuah radio di Surabaya. Dalam konteks penulisan jurnalistik, saya menyebutnya sebagai hidden advertisisng, karena memungkinkan pendengar menganggapnya sebagai informasi biasa, bukan informasi yang membayar (iklan). Tapi, si praktisi mengatakan bukan, karena ini adalah cara efektif agar pesan-pesan penjualan bisa masuk di kesadaran pendengar.

HIDDEN ADVERTISING: KEBIRI HAK INFORMASI PUBLIK DAN DAYA KRITIS PERS

HIDDEN ADVERTISING : KEBIRI HAK INFORMASI PUBLIK DAN DAYA KRITIS MEDIA

Penulis: Rachmat Kriyantono[1]


Abstract:

Public has the rights to gain information. Conducting the responsibility to fullfill the public’s rights to know, a professional media is absolutely needed. The professional media is a media which has an ability to provide information that supports its functions: as the information provider, to educate, and to control the society (watchdog). As a consequence, when constructing a reality as a news, the media is demanded to be idealist, independent, and critical. Recently, however, the critical sense of the media seems to be ”emasculated” by the increasing of hidden advertising phenomenon. This phenomenon causes the freedom of the press is distorted by the media practitioners. As a result, the public’s right to obtain information is also reduced.

Kata-kata kunci: Hidden advertising, hak informasi publik, kritis, media                 


Latar Belakang
Sejak era reformasi, Indonesia mengalami “booming” media, baik cetak maupun elektronik. Kita hidup dalam era industri media. Setiap detik, rumah kita tiada henti disuguhi produk-produk informasi dari media. Informasi menjadi ”sarapan pertama” di pagi hari dan ”menu terakhir” menjelang tidur. Setiap hari, misalnya, kita disuguhi berbagai tayangan televisi dari puluhan televisi. Munculnya UU Penyiaran no 32 tahun 2002, sebagai produk reformasi, menyebabkan langit pertelevisian kita semakin beragam. Televisi-televisi “lokal” dan komunitas juga tampak bagaikan jamur.
Hal tersebut juga berlaku untuk media lainnya, seperti surat kabar, radio, dan majalah. Untuk media cetak telah terjadi booming yang cukup besar, dengan kemudahan mendirikan penerbitan dan dihapuskannya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Menurut catatan Jacob Oetama, sejak era reformasi jumlah penerbitan media cetak bertambah hingga mencapai 2.000. Kini, hanya tersisa 695 penerbit. Jumlah itu masih lebih banyak dari era Orde Baru yang berjumlah 289 penerbit (Amri, 2010).
Perkembangan media memudahkan masyarakat memperoleh informasi dan mendorong demokratisasi. Di sisi lain, keberadaan media tidak lepas dari kepentingan komersialisasi ekonomi. Media menjadi produsen yang menghasilkan produk untuk ditawarkan pada audiens sebagai pasarnya. Artinya, eksistensi media juga bergerak dengan logika ekonomi dan pasar. Kepentingan komersial media inilah yang seringkali akan berada dalam kondisi ”semrawut” dengan fungsi idealnya; menjadi jendela informasi dan sumber data bagi masyarakat. Bahkan dalam suatu kondisi ekstrem, manakala kepentingan komersial ini lebih dominan, media tidak lebih berfungsi hanya sebagai sarana perpanjangan tangan kelompok tertentu untuk mencetak keuntungan sebesar-besarnya.
Kemerdekaan pers telah memberikan kebebasan bagi media untuk lebih kritis dan mudah mencari dan menyebarkan informasi tanpa takut rambu-rambu penguasa dengan semangat memenuhi hak publik akan informasi. Tetapi, komersialisasi isi media membuat media ”kebablasan” dalam mencari, memformat dan menyebarkan informasi, antara lain dengan mencampur informasi dengan pesan-pesan bisnis, yang sebenarnya justru mengebiri dan mereduksi daya kritis serta hak publik tersebut.
            Hidden advertising (iklan tersembunyi) adalah fenomena tercampurnya produk media, khususnya berita, dengan kepentingan sponsor (bisa organisasi, perusahaan atau individu). Isi berita bukan lagi bersifat objektif tentang peristiwa di masyarakat, tetapi sekedar menceritakan kepentingan sponsor. Berita dibuat atas pesanan sponsor tertentu. Ini dimungkinkan terjadi karena media menerima kompensasi tertentu dari pemesan berita. Sering ditemui berita-berita yang diragukan independensinya, seperti berita tentang launching produk, berita acara wisuda suatu kampus, berita sepak terjang calon kepala daerah, dan masih banyak lagi.

Tujuan dan Lingkup Tulisan
            Tulisan ini bertujuan menyebarkan gagasan penulis untuk membuka diskursus  bahwa ada ancaman terhadap daya kristis media sekaligus ancaman bagi hak-hak publik untuk memperoleh informasi yang berasal dari kesalahan praktik jurnalistik itu sendiri. Tulisan ini tidak menuduh telah terjadi ”transaksi” dalam semua proses membuat berita, tetapi mengingatkan bahwa fenomena hidden advertising berpeluang terjadi bila publik sulit membedakan mana berita, opini, dan niaga. Sering terjadi penyelewengan tugas jurnalistik, yaitu praktik periklanan yang berkedok praktik publisitas. Tulisan ini sebagai upaya sosialisasi media literacy (melek media) kepada publik agar menjadi konsumen yang berdaya dan sadar akan hak-haknya sebagai konsumen media.

Distorsi Kebebasan Pers
            Hakikat kebebasan pers adalah kebebasan yang dimiliki pers (media) untuk melaksanakan tanggung jawabnya memenuhi hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar. Kemerdekaan pers, menurut UU no 40/1999, merupakan wujud kedaulatan rakyat. Agar media dapat melaksanakan amanat tersebut, maka diperlukan media yang profesional, yaitu yang berorientasi pada penyajian informasi yang benar, fokus pada kepentingan masyarakat, independen terhadap sumber berita serta disiplin dalam memverifikasi kualitas informasi. Mengapa perlu kebebasan pers? Pertama, hak memperoleh informasi adalah hak asasi setiap individu sebagai alat adaptasi dengan lingkungannya, dan karenanya kebebasan pers merupakan hak asasi warga negara (UU no 32/2002). Karena individu-individu mempunyai keterbatasan indera untuk memperoleh informasi, maka mereka mengamanatkan media untuk membantu. Kedua, media mempunyai power. Karena kemampuannya dalam diseminasi pesan secara serentak, repetisi, dan simultan, media mempunyai kekuatan dalam membentuk opini dan bahkan sebagai penentu kebenaran. Power ini yang membuat media menciptakan “global village” atau kampung global, yaitu menjadi jembatan globalisasi dan menipiskan batas-batas jarak maupun ruang antara wilayah yang disebut negara. Ketiga, dengan kemampuan tersebut, media mampu mewakili masyarakat sebagai alat kontrol (watchdog) bagi kekuasaan. Media pun menjadi salah satu pilar demokratisasi. Faktor-faktor inilah yang menjadi daya tarik pihak-pihak yang juga mempunyai power (dapat berupa kekuasaan politik, bisnis atau pekerja media itu sendiri) untuk memengaruhi bahkan “menyetir” media dalam mengonstruksi kebenaran. Foucault mengatakan “power and knowledge cannot be divided. Power is a creative force that pervades all human activity” (Littlejohn & Foss, 2008:221).
            Ketika pihak-pihak tertentu “ikut campur” dalam tugas penyediaan informasi yang diemban media sehingga memengaruhi isi informasi, maka distorsi kebebasan pers merupakan keniscayaan. Dalam catatan panjang praktik media di Indonesia, terjadi beberapa distorsi. (1) Distorsi kekuasaan. Distorsi ini berasal dari birokrasi pemerintahan, baik berupa regulasi formal dan perilaku birokrat, sipil atau militer. Distorsi ini terutama sering terjadi pada era Orde Baru. Misalnya, Peraturan Menteri Penerangan no 1/1984 yang mengatur pencabutan SIUPP, padahal UU Pokok Pers waktu itu (no 22/1982) dengan tegas mengatakan “terhadap pers nasional tidak dikenal pembredelan (penghentian penyiaran/penerbitan/peredaran secara paksa)”. Logika nalar mengatakan pencabutan SIUPP ya sama dengan bredel, sama-sama tidak dapat beroperasi lagi. (2) Distorsi pemilik bisnis. Distorsi ini terjadi, jika pemilik modal maupun kekuatan ekonomi lainnya mampu memengaruhi proses produksi informasi. (3) Distorsi masyarakat, yaitu ketika aksi-aksi masyarakat mengancam kebebasan media, seperti aksi anarkis menyerbu kantor-kantor surat kabar karena tidak setuju dengan pemberitaan media tersebut. (4) Distorsi pekerja media, yaitu ketika pekerja media tidak dapat menjaga profesionalitasnya dalam menulis berita, sehingga menghasilkan distorsi informasi. Fenomena hidden advertising merupakan contoh distorsi bisnis dan pekerja media.

Simbiosis Mutualisme
            Memang terjadi simbiosis-mutualisme antara pebisnis dan media. Bagi pebisnis, ini adalah strategi pemasaran (baca: beriklan) yang tepat. Tidak sedikit perusahaan yang mengadaptasi prinsip “biarkan orang lain bercerita” (word of mouth communication/komunikasi gethok tular) dalam strategi periklanan. Strategi kreatif iklannya menggunakan konsep bercerita, di mana seakan-akan orang lain -bisa media atau public figure- yang bercerita tentang keunggulan produk. Strategi ini kita jumpai dalam iklan “advertorial”, “testimoni”, dan iklan “adlib” di radio. Iklan testimoni adalah iklan yang menampilkan seseorang yang bercerita (mengendorse) tentang pengalamannya mengonsumsi produk yang diiklankan. Iklan advertorial (advertising-editoria/informasil) adalah iklan yang dikemas dalam bentuk cerita seperti berita pada umumnya. Biasanya di bagian akhir ditandai kata “advertorial atau adv” (Lihat gambar 1).

Gambar 1. Contoh Iklan yang ditulis dengan format berita (advertorial)

           
            Strategi ini dimaksudkan untuk mengatasi rendahnya kredibilitas iklan di tengah-tengah banjir iklan. Ini karena publik memandang iklan: pertama, bersifat  menjual,  biasanya orang-orang  cenderung bertahan bila diterpa pesan-pesan menjual. Karena sifat iklan adalah persuasif, yaitu memengaruhi orang untuk melakukan pembelian. Kedua, anti-detail, iklan tidak bisa menjelaskan produk secara lengkap, karena keterbatasan waktu atau ruang. Mengingat biaya iklan sangat tinggi, biasanya iklan di TV dan radio berdurasi 30 detik. Karenanya iklan singkat. Padahal ketika kita memutuskan membeli produk –khususnya yang berisiko tinggi, seperti komputer, rumah, mobil- kita dituntut melibatkan diri secara penuh untuk mencari informasi detail tentang produk (high involvement). Ketiga, iklan tidak dapat menjelaskan cacat produk, baik itu cacat pada produknya atau image yang jatuh  (Kriyantono, 2009: 61).
            Periklanan yang bersifat ”one to mass” (satu arah dan nonpersonal), sulit memengaruhi orang secara personal. Konsep ”bercerita lewat orang lain” merupakan bentuk nyata strategi pemasaran tradisional, yaitu gethok-tular dari mulut ke mulut. Strategi ini sekarang dikembangkan lagi dalam pemasaran modern. Kertajaya menyebutnya sebagai viral marketing (Kertajaya, 2006:65). Dengan alasan memadukan prinsip gethok tular di atas, iklan sering ”disamarkan” atau ”diperhalus” seakan-akan menjadi informasi/berita biasa dan sifat iklannya ”hilang”. Tetapi di sisi lain, khalayak sulit untuk membedakan advertorial yang membayar dengan publisitas yang gratis. Di bawah ini disampaikan sebagian contoh-contohnya:

Contoh Hidden Advertising
         Bagian ini mendeskripsikan sebagian contoh kasus hidden advertising. Pertama, di sebuah tayangan infotainment salah satu TV swasta. Host acara mengisahkan kehidupan seorang artis. Mulanya berjalan seperti kisah artis-artis lainnya, seperti kabar tentang pembuatan sinetron dan album nyanyi si artis, hingga pada akhirnya mengisahkan kehidupan sehari-hari si artis. Ketika mengupas kehidupan sehari-hari ini, dikisahkan bagaimana si artis menggunakan produk vitamin X untuk menunjang vitalitasnya. Belum cukup dengan kisah si host, si artis pun bercerita secara langsung tentang kebiasaannya minum vitamin X dan manfaatnya untuk mendukung aktivitasnya yang super sibuk. Sekilas kisah ini hanya bercerita tentang artis, tapi kalau dicermati, ada informasi tentang produk yang diendorse si artis.
         Kedua, pernah seorang wartawan sebuah koran di Surabaya mendatangi salah satu teman penulis. Saat itu, teman penulis adalah panitia publikasi acara wisuda di suatu kampus. Setelah memperkenalkan diri, dia menawari menyediakan kolom khusus untuk menulis berita tentang acara tersebut. Tidak tanggung-tanggung dalam dua edisi. Menurut si wartawan, teman penulis hanya diminta kompensasi pemuatan sebesar satu juta rupiah. Tak heran jika berita-berita tentang kampus teman tersebut muncul dalam dua edisi berturut-turut di koran itu.
         Ketiga, pernahkah anda mendengar suara penyiar di radio seperti contoh berikut?:

“…….. pendengar anda masih bersama saya Rahmat Utomo di acara Kota Pagi Radio Jaya. Terima kasih pada Bpk Bejo yang sudah ngasih info tentang kondisi jalan Raya Kendangsari… yang macet merambat sampai jam 5 ini. Buat pendengar lain yang ingin gabung memberi informasi… tahan sebentar…. Saya ingin mengajak anda bergeser dulu ke materi informasi lainnya… //Pendengar sebentar lagi akan muncul musim hujan. Biasanya ada banyak masalah, salah satunya atap bocor. Kini anda jangan khawatir karena ada genteng rumah anti bocor merk Sentosa// Pendengar, genteng Sentosa ini terbuat dari bahan berkualitas dan murah. Silahkan hubungi toko Rina, telpon 73435553……”
        
            Penyiar di atas tidak menggunakan kata iklan (seharusnya itu adalah iklan adlib, iklan yang diomongkan langsung oleh penyiar), tapi menggunakan kata ”informasi lainnya”. Artinya, ”informasi lainnya” tersebut setara dengan informasi yang datangnya dari Bapak Bejo tentang kemacetan.[2] Sementara gambar 2, adalah ”berita” yang masih diragukan apakah benar-benar berita atau iklan berbentuk berita. Yang tahu hanya si pembuat berita (media) dan perusahaan.

Gambar 2. Contoh Hidden Advertising. Muncul pertanyaan: “Ini murni berita (publisitas) atau iklan?” Yang tahu hanya media dan perusahaan (bisa marketing atau public relations-nya). Jika iklan, maka seharusnya ditulis “adv”.

         

Berita, Publisitas, dan Iklan
            Baik media dan perusahaan ”mesti jujur". Simbiosis mutualisme yang terjadi jangan sampai menghilangkan kejujuran kepada publik. Dalam konteks hak publik akan informasi, publik juga mempunyai hak agar ruang (space) dan waktu (time) di media digunakan sebaik-baiknya untuk kepentingan publik. Sering publik sulit membedakan mana berita yang murni berita dengan iklan yang berbentuk berita. Isi media adalah informasi, yang dapat dikelompokkan menjadi tiga: berita, opini, dan niaga. Menurut penulis, kita perlu membedakan antara informasi dan berita. Informasi, menurut Wilbur Schramm, adalah sesuatu yang dapat mengurangi ketidakpastian akan sesuatu (Sendjaja, 1998). Karena itu, tidak semua informasi adalah berita. Iklan, artikel opini, dan cerpen, misalnya, adalah informasi, karena publik terbantu akan informasi di dalamnya. Informasi bisa disebut berita bila memenuhi kriteria-kriteria: informasinya mesti objektif (objektivitas berita dibahas di bagian lain tulisan ini), narasumber kredibel, dan mempunyai nilai berita.
            Mengacu pada pasal 6 UU Pers no 40/1999, pembagian yang jelas antara ketiga kategori isi media di atas adalah termasuk hak publik untuk mengetahui. Bila itu iklan advertorial seharusnya ditulis kata ”advertorial atau adv” di bagian akhir berita. Bisa juga pemuatannya di halaman yang khusus advertorial (nama lainnya bisa pariwara). Jika tidak, maka akan muncul fenomena “iklan tersembunyi” (hidden advertising), seperti berita namun sebenarnya iklan. Hidden advertising adalah iklan yang disamarkan seperti berita. Perlu digaris bawahi, beriklan adalah membeli space dan time yang disediakan media. Isi iklan benar-benar ditentukan pengiklan. Perlu dibedakan antara iklan dan publisitas. Publisitas bersifat “free-charge” meski menggunakan space dan time media. Publisitas adalah “benar-benar berita” yang dibuat media meski salah satu sumber beritanya adalah press-release atau konperensi pers dari suatu perusahaan.
            Bagi media (tepatnya oknum media), ini adalah ”jalan pintas” memperoleh tambahan penghasilan. Penghasilan wartawan banyak yang belum layak. Karena itu tidak sedikit yang mengambil jalan pintas, meski dengan mengorbankan idealisme. Hal ini diperkuat data Dewan Pers bahwa sejak reformasi hanya sekitar 30% perusahaan penerbitan yang sehat secara finansial. Ini tentu mengkhawatirkan terjadinya praktik media yang kurang sehat. Tidak heran masih banyak ditemui pelanggaran Kode Etik Jurnalistik pasal 6 tentang penyalahgunaan profesi media, seperti menerima suap dan menulis berita hanya berfungsi sebagai sarana ”dagang merk” tertentu.
           
Kebiri Hak Informasi Publik dan Daya Kritis Media
            Apapun alasannya, fenomena hidden advertising harus dihentikan. Dari sisi jurnalistik, semakin banyak berita yang dibuat karena pesan sponsor membuat berita itu melenceng dari prinsip dasar objektivitas berita. Mengacu pada Westerthal (McQuail, 2010) objektivitas mensyaratkan berita bersifat faktual, akurat (truth), informatif, berimbang dan netral. Prinsip objektivitas akan menghasilkan penulisan berita yang ”apa adanya”. Tidak boleh dibumbuhi dengan opini pribadi dan tidak memihak siapa pun. Publik berhak memeroleh berita yang seobjektif mungkin yang berkaitan dengan kepentingan mereka.
          Hidden advertising adalah wujud nyata distorsi bisnis dan distorsi pekerja media yang mengancam kebebasan pers. Daya kritis media pun ”dikebiri” oleh pekerja media sendiri. Media harus membuat berita ”yang manis-manis” saja menyangkut kepentingan sumber berita. Tercampurnya kepentingan bisnis dalam kegiatan jurnalistik membuat fungsi kontrol media berjalan di tempat.
          Padahal agar dapat memenuhi fungsi sosialnya seperti pengawasan, radar sosial, edukasi dan sosialisasi, hiburan maupun fungsi interpretif, media harus diberi kebebasan menuangkan ide dan gagasan dalam penulisan beritanya. Media harus kritis dalam menceritakan peristiwa sehingga laporannya bersifat komprehensif.
          Daya kritis ini yang membuat media dibutuhkan masyarakat. Daya kritis inilah yang membuat media mampu menjadi pilar keempat demokrasi yang menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan rakyat. Media harusnya tetap bangga dan selalu menjaga kemurnian tanggung jawab profesinya. Profesi yang membuat seorang Napoleon Bonaparte mengatakan, ”saya lebih takut tajamnya pena ketimbang ribuan pasukan”
          Media adalah kepanjangan tangan masyarakat untuk memperoleh informasi. Hak publik ini dijamin dalam UUD 1945 yang berbunyi setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Informasi yang dibutuhkan masyarakat untuk membantu menginterpretasi peristiwa-peristiwa kehidupan yang berkaitan dengan kepentingan umum (pasal 6 bagian d UU 40/1999). Bukan menyediakan informasi yang sekedar ”menjual dagangan” kelompok kepentingan tertentu.  
            Media jangan takut kehilangan sumber penghasilan. Pelaku media seharusnya tetap berkeyakinan bahwa informasi yang berkualitas adalah produk media yang mampu memikat publik. Semakin banyak konsumen media akan merangsang pengiklan masuk, dan berkorelasi pada meningkatnya penghasilan perusahaan media tersebut. Dengan kata lain, upaya meningkatkan penghasilan seharusnya dengan menjual produk media yang berkualitas, bukan dengan mengorbankan idealisme. Ini sesuai penjelasan ayat 2 pasal 3 UU 40/1999 yang menekankan bahwa perusahaan media dikelola sesuai prinsip ekonomi, agar kualitas media dan kesejahteraan wartawan dan karyawannya semakin meningkat dengan tidak meninggalkan kewajiban sosialnya. UU Penyiaran 32/2002 pasal 4 juga menegaskan fungsi ekonomi tetapi tetap mengedepankan pemberian informasi yang benar, seimbang dan bertanggung jawab (pasal 5). 

Penutup
            Publik mesti menyadari bahwa hidden advertising sebenarnya mereduksi hak mereka untuk memperoleh informasi yang berkualitas. Publik –sebagai pemberi amanat- mesti kritis. Jika menemukan suatu berita yang dinilai memuat periklanan terselubung, mereka bisa memrotesnya atau mengajukan keberatan melalui ombudsman atau bahkan ke Dewan Pers. Publik perlu diberdayakan untuk dapat membedakan mana isi media yang berita, opini atau niaga. Dengan mencampur ketiganya berarti mengebiri hak-hak informasi yang dimiliki publik.



Daftar Pustaka:
Amri, Choir., “Kekurangan dan Kelebihan Media” (http:// wordpress.com/2010/05/06/kekurangan-dan-kelebihan-media, diakses pada 3 Peb 2010)
Kertajaya, Hermawan., Marketing Mix (Bandung: Mizan Pustaka, 2006).
Kriyantono, Rachmat., Public Relations Writing (Jakarta: Prenada Media Group, 2009).
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A., Theories of Human Communication (California: Thompson Wadsworth, 2008).
McQuail, Dennis., Mass Communication Theory (California: Sage Publications, 2010).
Sendjaja, S.D., Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta: Universitas Terbuka, 1998).
 
 


[1] Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya Malang dan kandidat Doktor di School of Communication, Edith Cowan University, Australia.
[2] Saya pernah wawancara dengan seorang praktisi senior sebuah radio di Surabaya. Dalam konteks penulisan jurnalistik, saya menyebutnya sebagai hidden advertisisng, karena memungkinkan pendengar menganggapnya sebagai informasi biasa, bukan informasi yang membayar (iklan). Tapi, si praktisi mengatakan bukan, karena ini adalah cara efektif agar pesan-pesan penjualan bisa masuk di kesadaran pendengar.