Monday, February 14, 2011

BANGKITLAH PENONTON TV

Tulisan saya ini dimuat juga di Kompas, 26 Mei 2007 dan Jurnal Kommti BPPI Sby, vol 10 no 21 Apr 2007


Media televisi, di Indonesia menjadi media dengan konsumen terbesar dibanding jenis media lainnya (cetak, radio dan interaktif/internet). Peluang mencari keuntungan pun semakin besar. Namun, sistem kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan semakin mewarnai pola perilaku siaran televisi. Rating menjadi dewa segala-galanya bagi industri ini. Yang penting iklan masuk. Semakin tinggi rating, semakin besar uang yang masuk kocek. Mereka dengan percaya diri menganggap bahwa tayangannya digemari hanya berdasarkan hitung-hitungan rating. Meskipun hingga kini tidak ada jaminan berapa sebenarnya yang suka, berapa yang tidak suka. Jadi, besar kemungkinan terjadi ”bias-rating’.

Sejak era reformasi, Indonesia mengalami “booming” media televisi. Kita hidup dalam era industri televisi. Setiap detik, rumah kita tiada henti disuguhi produk-produk informasi dari media. Informasi menjadi ”sarapan pertama” di pagi hari dan ”menu terakhir” menjelang tidur. Konsumen TV pun semakin dimanjakan dengan tampilnya berbagai varian program, meski tidak semuanya merupakan program yang benar-benar baru. Banyak juga yang “baru” tetapi “stok lama” alias duplikasi atau sekedar latah nunut popular program lainnya.
Acara TV bias disebut merefleksikan kebudayaan di masyarakat sehingga apa yang terjadi di layar kaca merupakan refleksi apa yang terjadi di masyarakat. Apabila sekarang di media-media TV yang menduduki rating tertinggi adalah tayangan-tayangan yang berisi kekerasan, gossip, dan misteri, mau tidak mau kita mesti akui itulah gambaran masyarakat kita saat ini. Masyarakat yang suka ngobrol keburukan orang lain, suka kekerasan dan suka hal-hal yang bersifat misteri (klenik).
Tetapi, di sisi lain –dalam perspektif agenda Setting dan Cultivation Theory- media TV berkontribusi besar dalam membentuk pola piker demikian. Bila dikaitkan dengan fungsi media sebagai agen pewarisan nilai-nilai sosial, nilai-nilai kekerasan, gossip, dan mistik itulah yang diwariskan media ke anak cucu kita. Melalui strategi framingnya: cara bercerita, penonjolan kharakter, TV bertanggung jawab membentuk pola piker yang “aneh” itu. Misalnya, seorang Aa’ Gym menjadi sorotan bahkan dibenci penonton (khususnya ibu-ibu dan remaja putrid) hingga “hilang” dari layar televisi ketika memutuskan poligami. Padahal tidak ada larangan poligami dalam agama Islam. Tayangan televisi seakan-akan memvonis perilaku tersebut sebagai hal yang tabu. Tetapi, bagaimana Inul Daratista dielu-elukan televisi –sebagai ikon pembangkit rating- karena goyang ngebor yang “hot”. Bagaimana Andarla Early dan artis lain yang “menjual diri” dengan pose “menggiurkan” di majalah Playboy malah menjadi ladang menarik penonton, dan tetap laris sebagai presenter atau main di sinetron. Artinya, dunia ini terbalik. Yang tidak dilarang agama dikucilkan, yang dilarang agama menjadi besar.

Mutu Siaran Rendah
Banyak sekali tayangan sinetron di layar televisi kita -yang jika diamati lebih mendalam -bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong. Jelas ini bertentangan dengan UU Penyiaran 32/2002. Mayoritas acara televisi adalah sinetron yang ’serba ekstra’ (ekstra sadis, ekstra sial, ekstra baik, ekstra kaya raya, ekstra mistis, ekstra cantik, dan ekstra lainnya), tayangan gosip yang “setiap detik” hadir dengan beragam judul namun seragam dalam substansi, serta acara kriminal yang justru tidak memperingatkan audiensnya agar waspada namun malahan menakut-nakuti dan pamer kegagahan aparat atau kesadisan pelaku.
Artinya, tayangan-tayangannya cenderung tidak realistis, mengada-ada, hipereality, dan sulit diterima nalar. Sifat tidak realistis, mengada-ada, hiperealty dan sulit diterima nalar tersebut bukan hanya terjadi pada tayangan-tayangan mistis, tapi juga pada tayangan-tayangan yang non-mistis. Bahkan dengan seringnya tayangan mistis, maka media semakin mengeksplorasi dunia irrasional kita. Ini negatif bagi kemajuan bangsa. Jika pola pikir irrasional (klenik, mitos) banyak mewarnai perilaku kita maka bangsa ini sulit berkembang.
Contoh sederhana yang dapat diamati dari tampilan sinetron yang cukup populer berjudul Bidadari yang ditayangkan di RCTI. Dalam salah satu adegannya, ditampilkan seorang siswi SMP menyiramkan air raksa ke wajah temannya. Banyak tayangan-tayangan berbau seks yang dibungkus (baca: diperhalus) tayangan-tayangan religi, seperti kisah-kisah pelacur, istri yang selingkuh dalam sinetron Rahasia Ilahi, Hidayah, dan lainnya. Bahkan tayangan yang isinya kebanyakan tentang ”azab Tuhan” yang dikemas berlebihan itu sering membuat saya berguman: ”woh.. apa benar Allah sekejam itu.... manusia saja bisa memaafkan kesalahan, apalagi Allah”.
Ada siswa SD yang berani meledek gurunya di depan kelas dalam sinetron Kecil-Kecil Ngobyek. Seorang Ibu kaya raya, berpendidikan tinggi dengan gampangnya meminta anaknya yang seorang dokter untuk kawin kontrak agar mempunyai cucu kandung. Padahal si anak sudah mempunyai istri. Dengan entengnya ibu tersebut mengatakan kepada menantunya: ”Jangan khawatir Intan, Rado tetap suamimu. Setelah istri kontraknya hamil dan melahirkan maka Rado dan kamu tetap suami-istri” (ikuti Sinetron Intan-RCTI). Belum lagi isi berita kriminal yang setiap hari ditayangkan di seluruh stasiun televisi kita. Berita pemerkosaan, perlakuan tidak manusiawi pada pelaku kejahatan, dengan diikat lehernya menggunakan tali dan hanya berpakaian dalam, perlakuan yang lebih sesuai untuk hewan daripada manusia. Adegan-adegan dramatisasi seperti ini banyak sekali mewarnai tayangan-tayangan televisi yang ironisnya menempati posisi rating tertinggi. Ada siswi SMA yang mencium pacarnya di depan kelas, padahal di tempat terbuka.

Perlunya Media Literacy
Masyarakat Indonesia yang sebagian besar belum memiliki tradisi membaca, menjadikan media televisi ini sebagai rekan pengisi waktu luang. Menganggap televisi telah mampu memenuhi semua kebutuhan akan media, termasuk di dalamnya memperoleh informasi bahkan menginterpretasi realitas. Ironisnya, terkadang media lebih dipercaya daripada relasi sosial yang lebih kongkret. Apa yang disajikan di televisi yang bersifat realitas simbolik, itulah yang dianggap sebagai realitas objektif yang tengah terjadi di luar sana. Bahkan semakin lama, media memberikan interpretasi sepihak sehingga mengarahkan pikiran audiens agar mengikuti alur logikanya.
Karena itu, perlu upaya dari berbagai pihak –masyarakat, pemerintah, media, akademisi- untuk memberikan ketrampilan “melek media”. Media literacy merupakan ketrampilan untuk menganalisis isi media. Dalam tataran yang sederhana, melek media merupakan ketrampilan untuk mencerna, mengkritisi isi media dan memilih untuk menonton apabila tayangan dianggap mengandung risiko. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam ketrampilan media literacy ini mencakup:
1.      Memberikan pengetahuan kepada konsumen media akan pentingnya memiliki keterampilan media literacy dalam menonton tayangan media
2.      Menunjukkan resiko yang dapat terjadi apabila konsumen media menonton tayangan yang mengandung unsur-unsur berbahaya, semisal seks dan kekerasan, termasuk tayangan yang bersifat irrasional.
3.      Memberikan pembelajaran keterampilan panduan media bagi konsumen media.
4.      Meningkatkan keterampilan komunikasi persuasif konsumen media dalam rangka sosialisasi keterampilan media literacy pada peer group-nya.

Tujuan media literacy adalah agar penonton mampu mengkritisi dan tidak mudah meniru adegan-adegan dalam tayangan media. Penonton pun bias menjadi figure yang bukan sekedar objek tontonan. Tentu, hal ini perlu didukung oleh pekerja media. Praktik media jangan hanya berdasarkan indicator-indikator semu seperti rating maupun iklan. Harus ada keinginan untuk “shape” (membentuk) bukan hanya “give” (memberi). Artinya, jangan hanya sekedar member tontonan, tapi melalui tontonan itu, media diharap membentuk pola pikir yang positif bagi kemajuan bangsa.

PENEGAKAN REGULASI PENYIARAN
            Tak salah jika dikatakan kita ini hidup dalam dunia penyiaran yang bebas. Sejak Deppen dilikuidasi tahun 1999, produk hukum penyiaran yang dihasilkannya (UU Penyiaran 24/1997) juga turut dilikuidasi. Penggantinya (UU Penyiaran 32/2002) ternyata hingga kini masih dilaksanakan “setengah hati”. Bahkan Direktur Penyiaran Ditjen Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Depkominfo dalam Forum Sosialisasi Regulasi Penyiaran di Malang menyebutnya sebagai kevakuman pelayanan publik di bidang penyiaran yang terjadi selama 4,5 tahun terakhir ini.
Bisa ditebak apa yang terjadi. Di bidang perizinan, telah tumbuh ribuan lembaga penyiaran illegal yang bahkan mendesak stasiun penyiaran yang berizin resmi, banyaknya izin-izin penyiaran lokal yang dikeluarkan pemerintah daerah dengan dasar UU Otonomi Daerah (bukan UU Penyiaran), dan penggunaan frekuensi yang “semau gue”. Di bidang isi siaran, terjadi kebebasan memproduksi tayangan tanpa bisa diatur sehingga dapat berpengaruh negatif terhadap masyarakat khususnya anak-anak. Pengelola media masih banyak yang tidak patuh pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran dari KPI. Sebenarnya, UU Penyiaran no 32/2002 dengan jelas membuat regulasi tentang standar siaran. Standar ini mestinya menjadi acuan bagi pengelola media dalam memproduksi tayangan media, antara lain bahwa tayangan media mesti mengandung:
a.       rasa hormat terhadap pandangan keagamaan
b.      rasa hormat terhadap hal pribadi
c.       kesopanan dan kesusilaan
d.      pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme
e.       perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan
f.       penggolongan program berdasarkan usia khalayak
g.       aturan penyiaran program dalam bahasa asing
h.      larangan siaran bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong
i.        larangan menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika, dan obat terlarang
j.        larangan mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan
k.      larangan memperolok, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia atau merusak hubungan internasional.

Daftar Pustaka:
Kriyantono, Rachmat, Kompas, 26 Mei 2007, Rubrik Forum “Bangkitlah Penonton TV”
Kriyantono, Rachmat, Pemberdayaan konsumen TV melalui ketrampilan media literacy & penegakan regulasi penyiaran, Jurnal KommTi BPPI Surabaya, vol.10 no.21, April 2007
Purwasito, Andrik, 2007, Produk Lokal Semangat Global: Perspektif isi Siaran Penyiaran Swasta Lokal dan Penyiaran Komunitas, Forum Sosialisasi Regulasi Penyiaran, Depkominfo & UMM
Tim Pengabdian pada Masyarakat tentang Media Literacy, Program Ilmu Sosial, Universitas Brawijaya, Malang, 2007

4 comments:

  1. Mantab Bos.... pencerah bagi penonton yang biasanya pasif.

    ReplyDelete
  2. tambahin tulisan tetang resep masakanbos..sapa tau bisa ikut sukses jg

    ReplyDelete
  3. betul kali ya pak, hukum ekonomi sdh melanda industri media tv. Ada dua kemungkinan, industri mengikuti selera pasar yg "begono ajah" atau pemilik modal yg berusaha meracuni mental-pikir bangsa kita. Mbuh lah pak, sdh terjadi simbiosis mutualisme, transaksional sdh terjadi.
    Lha wes piye meneh pak, mantan ibu negara ajah seneng liat cintra pitri...

    ReplyDelete